Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Calon Wali Kota

6 Agustus 2024   09:36 Diperbarui: 6 Agustus 2024   09:39 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

John sedang terburu-buru menuju Esperion Village, ia mendapat tugas dari redaktur agar mewawancarai seseorang yang akan meramaikan bursa wali kota. Orang yang dimaksud bernama Annun Nakhi, seseorang yang belum pernah terdengar gema-nya dalam dunia politik di Kota Phonphon.

Dengan mengendarai sepeda motor, pria berumur 30 tahun itu menempuh sekitar 1 jam perjalanan dari kantornya. Wilayah desa tersebut terasa masih sangat asri dan sejuk. Di kanan-kiri jalan tumbuh subur pohon pinus.

Tak banyak informasi yang John dapatkan mengenai kehidupan masyarakat Esperion Village, selain pekerjaan mereka yang kebanyakan merupakan petani. Semenjak Kota Phonphon berdiri pada 1771, orang-orang di sana sama sekali belum pernah memberikan hak suaranya. Benar-benar "kotak kosong".

Oleh karena itu, cukup mengejutkan bahwa tiba-tiba muncul seseorang dari Esperion Village yang siap berkompetisi menjadi seorang Wali Kota Phonphon. Pertanyaan yang muncul dalam kepala John: "Kenapa harus sekarang? Kenapa tahun 2025?"

Dengan pertanyaan yang memenuhi kepala, John melanjutkan perjalanannya sembari menikmati suasana yang tak pernah ia rasakan di Kota Phonphon.

Di sini ia dapat melihat barisan gunung, bukit, dan kabut. Samar-samar juga tercium aroma daun mentol yang memang banyak ditanam oleh penduduk.

Namun mata John terganggu dengan sebatang pohon akasia besar yang sepertinya tercabik oleh sesuatu. Ia mendapatkan pohon tersebut mendapatkan goresan-goresan besar yang membuat batang terbakar dengan cepat. Gosong.

John kemudian memeriksa lokasi sekitar pohon, meski tampak bersih, namun mata yang berpengalaman tentu mengetahui di situ terdapat bekas-bekas perkelahian dengan jumlah orang yang tidak sedikit. Tapi, orang gila mana yang datang ke desa itu hanya untuk cari ribut?

Apa yang dilihatnya hanya menambah pertanyaan di kepala John. Ia kemudian memilih mengabaikan temuannya, dan berfokus terhadap pekerjaannya sekarang.

Tak lama, John sudah sampai di halaman rumah Annun Nakhi. Seirama dengan pohon di bagian belakang, kiri, dan kanannya, hunian tersebut terbuat dari material kayu jati, berdiri di area tanah yang luasnya sekitar 150 meter persegi.

Seolah tahu ada tamu yang datang, si pemilik rumah langsung saja muncul dari balik pintu. Ia adalah seorang pria berumur 51 tahun yang hidup membujang. Annun Nakhi juga masih menjabat sebagai Kepala Desa Esperion Village selama 20 tahun. Rambutnya kebanyakan sudah memutih, namun tampak trendi dengan model cukuran rambut pompadour.

"Selamat pagi, Pak! Perkenalkan, nama saya John Brownwater yang kemarin menghubungi Anda via telepon! Saya dari Dark Sky News."

Sang kepala desa tersenyum. "Silakan masuk."

Selagi menunggu Annun Nakhi yang sedang membuatkan minuman, John memperhatikan kondisi ruang tamu. Ruangan itu sederhana saja, namun hawa sejuk yang menyelimuti membuatnya merasa begitu nyaman. Maklum, hanya ada hawa panas di Kota Phonphon kecuali sedang hujan.

Ada satu jenis benda yang menganggu keingintahuan John. Dua gagang pedang yang disandarkan di dinding, dan ditopang oleh lemari setinggi pinggang orang dewasa.

Biasanya, orang-orang memajang pedang atau jenis senjata lainnya di rumah sebagai penghargaan terhadap nenek moyang mereka. Tapi itu dalam bentuk yang lengkap, misalnya tombak, dipajanglah mulai dari tongkat dan mata tombaknya, tak pernah hanya sebagian seperti yang John saksikan.

"Apakah kau suka minuman teh manis yang dicampur daun mentol?"

John benar-benar terkejut. Ternyata Annun Nakhi sudah berdiri di belakangnya sambil membawa dua cangkir teh.

***

"Jangan terlalu formal, panggil saja saya 'Nakhi'. Jangan sebut semuanya," ujar Annun Nakhi dengan setengah tertawa.

John tersenyum, ia pikir awalnya wawancara ini akan menjadi kaku atau semacamnya. Sebelum mulai bertanya, ia menyeruput sedikit minuman teh mentol di hadapannya. Annun Nakhi dan dirinya sekarang hanya berbatas meja kayu jati berukuran kecil untuk meletakkan minuman. Mereka duduk santai.

"Jadi, Mister Nakhi, sebagian orang penasaran tentang motivasi Anda dalam mengikuti pemilihan wali kota kali ini, setelah sekian lama masyarakat dari Esperion Village tak pernah berpartisipasi. Bolehkah Anda memberikan sedikit tanggapan?"

"Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada perwakilan dari Dark Sky News yang sudi mendatangi kampung kami yang sunyi ini. Kemudian, jika ditanya soal 'motivasi', saya rasa mirip-mirip dengan kandidat lain. Atau barangkali pertanyaan saudara John sebenarnya tentang keinginan pribadi saya dalam mengikuti kompetisi ini. Apa benar begitu, Mister Brownwater?"

"Tepat sekali!"

"Baik. Ada empat hal yang ingin saya perbaiki di Kota Phonphon yang akan mempengaruhi area yang menjadi area perlindungannya. Pendidikan, kesehatan, kedaulatan pangan, dan keamanan."

"Bukankah itu sepertinya sama saja dengan yang 'mirip-mirip' tadi, Mister?" tanya John setelah melirik ke arah gagang pedang yang menarik itu.

Annun Nakhi tersenyum. "Tentu ada beda. Begini, setiap kali anak-anak Kota Phonphon yang tak bisa masuk sekolah yang dibiayai oleh uang rakyat, pemerintah seakan bisu dan membiarkan mereka mencari solusi sendiri. Ini yang akan berubah jika saya menjadi wali kota. Saya memastikan mereka akan mendapatkan jalan keluar.

Dalam bidang kesehatan, sepertinya saya akan melanjutkan apa yang sudah berjalan karena sudah cukup baik, kecuali pelayanan. Oknum pegawai yang berwajah masam pada saat pelayanan dan pengobatan, dipastikan akan saya pecat secepat-cepatnya, supaya sadar mereka itu duit dari mana asalnya.

Anda wartawan Mister Brownwater, pasti Anda paham betul betapa banyak berita tentang pemuda-pemuda Kota Phonphon yang mengalami masalah kesehatan karena makanan yang tidak layak, atau membeli makanan yang aneh-aneh itu. Maka, kami yang ahli menanam ini, siap memastikan pangan sehat untuk mereka. Saya tak akan menjanjikan makan gratis sambil berjoget, tetapi program ini pasti terjangkau."

"Sepertinya kurang satu, Mister Nakhi?"

"Benar. Soal keamanan. Saya akan tunjukkan kepada Anda betapa kami, penduduk Esperion Village, sangat memberikan perhatian khusus pada perkara tersebut. Apakah Anda melihat sisa pohon yang hancur saat menuju ke sini?"

"Ada apa sebenarnya, Mister?"

"Seminggu lalu datang satu grup berandal dari Kota Phonphon. Mereka mengendarai sejumlah sepeda motor berukuran besar. Setelah diselidiki, para durjana itu memang ingin jalan-jalan ke Esperion Village, namun mereka telah mengacaukan ketertiban di sini dengan mabuk-mabukan dan merusak tanaman warga."

"Apakah Anda sudah menghubungi petugas keamanan setempat? Itu berbahaya!"

"Ah ... begundal seperti mereka bisa kami bereskan."

"Maksudnya, Mister Nakhi?"

"Mister Brownwater, perhatikan baik-baik, karena jurus ini tak akan kuulangi." Annun Nakhi terkekeh-kekeh.

John memperhatikan sang kepala desa beranjak dari kursinya dan langsung menghampiri dua gagang pedang yang dari tadi ingin ia ketahui.

"Sepertinya Anda memang penasaran dengan dua benda ini. Begini cara pakainya!"

***

Annun Nakhi membelah bongkahan batu quartz setinggi 1,5 meter seperti sedang memotong mentega. Tanpa mengeluarkan keringat. Kemudian ia menunjukkan kepada John caranya membersihkan semak belukar dengan pedang yang mengeluarkan sinar laser warna merah dari gagangnya itu. Cukup sekali tebas, hangus semua. Praktis.

"Ba ... bagaimana caranya Anda mendapatkan benda itu?" tanya John terbata-bata.

"Detailnya tidak bisa saya ceritakan. Tapi tolong apa yang akan saya sampaikan ini menjadi 'off the record'. Bisa?"

"Anda bisa mempercayai saya soal ini!"

"Pada dasarnya teknologi yang Anda lihat tadi, bukan berasal dari sini."

"Bukan dari Kota Phonphon?"

"Tidak."

John memicingkan matanya. "Maksudnya?"

"Bukan dari bumi. Semua kepala keluarga di Esperion Village setidaknya memiliki satu teknologi yang berbeda antara satu dan lainnya. Kebetulan saya memilih bentuk pedang, karena terasa lebih macho."

Batin dan pikiran John sedang bertarung. Jika ia memilih tidak percaya, namun apa yang telah dilihatnya terlalu nyata untuk diingkari. Jika ia mencoba percaya, pasti tak ada orang lain yang mau percaya jika diberitakan soal yang dimaksud.

"Untuk apa senjata-senjata itu, Mister Nakhi?"

"Esperion Village telah menjaga keamanan dan ketertiban daerah pegunungan di bawah pemerintahan Kota Phonphon selama kurang lebih 254 tahun. Namun sudah saatnya kami membantu rakyat yang ditindas oleh kejahatan yang terkesan dibiarkan oleh wali kota kalian selama ini. Para wanita dibegal di tengah jalan. Warung-warung dicuri barang-barangnya tanpa bisa ditemukan si pelaku. Melapor ke penegak hukum pun tak ada guna. Pemerintahan kalian itu sampah."

"Berarti Anda kira bisa memenangkan pemilihan wali kota dengan alat-alat laser tadi?"

"Tentu saja tidak. Tidak mungkin itu terjadi. Paling-paling yang memberi suara adalah masyarakat Esperion Village saja," ujar Annun Nakhi. Ia tertawa ringan.

"Jadi bagaimana strategi Anda memenangkan pemilihan?"

"Tidak ada strategi, karena tak ada uang. Lihat saja wali kota incumbent yang mampu menerbitkan ribuan buku kisah hidupnya dalam rangka kampanye, atau kandidat lain yang punya dana untuk menguasai media sosial. Paling mahal saya hanya bisa cetak kartu nama. Tapi menang-kalah nanti tak ada hubungannya dengan misi Esperion Village dalam memerangi kejahatan di Kota Phonphon. Kami pada akhirnya menyadari bahwa teknologi seperti ini harus digunakan demi kepentingan banyak orang. Namun, kami bergerak dalam bayangan saja."

John hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal mendengar jawaban itu. Ia tak mengerti apa lagi yang bisa ditanyakan. Karena segala tentang Esperion Village terasa samar.

***

Wali Kota Phonphon yang baru telah dilantik satu hari yang lalu. Annun Nakhi, seperti yang sudah diprediksi, menempati posisi paling bontot dan mencetak sejarah pertama kalinya warga Esperion Village ikut serta dalam pemilihan kepala daerahnya.

John memohon kepada pemimpin redaksi agar tidak menugaskan dirinya menyelidiki kasus-kasus kematian para koruptor atau pelaku premanisme terhadap masyarakat. Ia menyadari investigasinya hanya menuju ke jalan buntu.

Cukup dengan melihat luka-luka dari korban, John sudah paham siapa pembunuhnya. Jika diteruskan penyelidikannya, ia tahu akan sampai di rumah seseorang.

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun