Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menanyakan Pekerjaan Orang Lain adalah Kebodohan

17 Februari 2023   10:36 Diperbarui: 17 Februari 2023   10:39 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay.com 

Boleh percaya atau tidak, ketika Anda sedang dalam kondisi menganggur, akan sering muncul pertanyaan seperti ini: "Sekarang kau kerja di mana?"

Terjadi juga pada diri saya (zaman menganggur dulu), bahkan hampir sepanjang waktu saat bertemu orang atau teman. Apakah mereka tahu saya tak punya pekerjaan kala itu, atau sekadar penasaran, entahlah. 

Tapi yang pasti saya sangat terganggu, karena perkara semacam pekerjaan dan sejenisnya itu bukan konsumsi publik, kecuali mereka tak sengaja bertemu saya ketika sedang bekerja. Tak masalah.

Saya lima puluh persen setuju bahwa kita sedang bekerja atau tidak adalah hal privat. Sisa persen-nya disebabkan ada makhluk-makhluk yang mengaku tidak masalah jika ada orang lain menanyakan-nya. 

Ini biasanya terjadi pada individu yang memiliki pekerjaan yang superior (gaji tinggi, berpangkat, disukai calon mertua, dan lain-lain). Jadi kalau saya bilang seluruhnya tidak setuju, nanti "orang-orang kuat" ini akan membacot: "Aku tak masalah kalau ditanya, tuh!"

Namun saya seratus persen tidak setuju seandainya ada orang menanyakan hal tersebut murni untuk adu status sosial. Waspadalah, tipe manusia seperti ini ada di sekitar kita.

Kebanyakan pertanyaan itu diajukan, dalam perspektif saya, adalah suatu metode untuk memastikan bagaimana seharusnya seorang individu memperlakukan sesamanya. 

Kalau ternyata pekerjaan-nya bagus, ia akan menghormatinya, kalau sebaliknya, maka ia akan melupakan respek yang harus diberikan kepada siapa saja yang pantas tanpa melihat apa pekerjaan-nya.

Menurut Alina Dizik, dalam artikelnya "Why You Shouldn't Ask People What They Do", yang diterbitkan oleh bbc(dot)com pada tanggal 11 Agustus 2016: "Retaining a distinct identity causes less grief during job loss, creates more authentic connection outside of the office and helps people feel more respected even when away from powerful job."

Bahasa jalanan-nya kira-kira begini: "Identitas yang terpisah dari pekerjaan dapat mengurangi kesedihan ketika menganggur, dan dapat membuat hubungan yang lebih asli di luar kantor, sehingga membantu orang-orang merasa lebih dihormati bahkan ketika mereka tidak memiliki pekerjaan yang bergengsi."

Tapi mau bagaimana lagi, di negara ini pekerjaan yang "kuat" merupakan satu faktor umpan bagi seorang pria untuk menggaet wanita dan mencari dukungan dari calon mertuanya. Salah? Tidak juga, sebagian masyarakat kita memang begitu. Karena di lain pihak, hal tersebut cukup masuk akal. Namun yang namanya cinta, harusnya menjadi kaya bersama-sama, bukan satu di antaranya banyak harta duluan.

Kenapa jadi bicara cinta, nih? Hahahahhahah.

Carolyn Gregoire, dalam artikel "Want to Kill a Conversation? Ask Someone What They Do" yang diterbitkan oleh huffpost(dot)com pada tanggal 30 Oktober 2013, menyatakan ketika kita menanyakan pekerjaan orang lain berarti kita sedang jatuh ke dalam sesuatu yang tidak baik.

"While the inquiry might seem harmless, it perpetuates a dangerous habit: the tendency to associate who we are with what we do," jelas Gregoire dalam artikel tersebut.

Terjemahan jalanan-nya kurang lebih seperti ini: "Meski pertanyaan tersebut tampak tidak berbahaya, namun hal itu melanggengkan kebiasaan yang berbahaya: kecenderungan untuk berteman hanya kepada seseorang dengan yang sebanding dengan dirinya."

Dalam pandangan saya, sebagian masyarakat Indonesia kesulitan memisahkan identitas kerja dengan dirinya sebagai pribadi, bahkan ketika ia telah pensiun lama. Sayang sekali.

Sebagian dari kita dibesarkan dalam kultur yang menyebutkan bahwa segala sesuatu didasarkan oleh kesuksesan pekerjaan, akan menilai seseorang berdasarkan pekerjaan pula. 

Misalnya ada seorang penjual kopi keliling, maka beberapa orang di antara kita akan memberikan sedikit saja respek terhadapnya dibandingkan jika kita bertemu dengan orang-orang yang digaji oleh negara. Apakah penjual kopi tersebut bodoh atau tidak cerdas? Belum tentu. Itu hanya masalah rezeki.

Setiap masa ada orangnya, setiap masa ada orangnya.

Allah subhanahu wa ta'alaa berfirman dalam surah Ath-Thalaq, ayat 2-3: "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya."

Maka, untuk apalah menyombongkan perkara dunia kepada sesama, padahal kita-kita ini hakikatnya hanya diberi oleh Sang Maha Kuasa.

Lucunya, sepanjang perayaan idulfitri, pertanyaan "sekarang kerja di mana" mendapatkan delapan puluh persen porsi ketika saya menganggur dulu, meski ketika sudah bekerja, orang-orang tetap menanyakan hal konyol seperti itu, dan saya tetap terganggu. 

Dua puluh persen sisanya diisi dengan pertanyaan "kapan nikah", "kapan punya anak", dan sejenisnya kepada para orang lajang (hahahahaha, kena juga mereka). Saya berharap di masa yang akan datang, perayaan hari raya tidak lagi diisi kebodohan.

Tapi saya punya trik khusus untuk menghindari orang-orang yang suka menanyakan pekerjaan kalau bertemu. Caranya adalah menjawab: "Saya bisnis gorengan".

Setelah menjawab, jika memungkinkan, langsung pergi. Cari alasan untuk pergi dari tempat itu dengan segera, atau pelan-pelan. Kenapa harus pergi? 

Karena dia yang menanyakan pekerjaan dengan tidak sopan, pantas untuk mendapatkan ketidakhadiran kita. Skor menjadi nol-nol. Seimbang, santai saja.

Jika Anda merasa trik yang saya sampaikan terdengar terlalu kasar, ada cara lain. Andai memungkinkan, cobalah mengidentifikasi dan/atau menebak siapa saja yang akan hadir pada suatu acara/kegiatan, ketika terasa beresiko maka hindarilah sejak awal. Bukan bermaksud lari dari kenyataan, melainkan untuk menjauhi konflik yang tak perlu.

Tentu saja kita semua berbahagia untuk rekan-rekan yang telah menapaki kesuksesan, tak lupa berdoa untuk diri sendiri agar mendapatkan kebahagiaan duna-akhirat.

Apa yang menjadi kegelisahan saya di dunia modern ini adalah tingginya ilmu tak seimbang dengan tingginya adab. Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang memiliki akhlak mulia.

Mari kita renungkan perkataan Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: "Allah telah mencatat takdir setiap makhluk, 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi."

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

Instagram: @dicky_armando111

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun