Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Busana Perempuan: Sebuah Counter Thesis Fenomena Sosial Keagamaan

22 Juni 2017   09:20 Diperbarui: 22 Juni 2017   09:28 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun pendapat yang dilontarkan oleh beliau untuk mengomentari pakem dalam pewayangan, namun ada poin penting yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang saya bahas yaitu jangan takut dengan pakem karena keberadaannya dapat berubah dan berkembang nut jaman kêlakoné(menurut zamannya). Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini masyarakat Jawa-Hindu di Banyuwangi  ketika ke pura cenderung mengenakan pakaian adat masyarakat Bali dan bukan Jawa. Mereka masih enggan mengenakan pakaian adat milik sendiri karena takut dikucilkan dan indikasi ini pula yang saya rasakan ketika diprotes orangtua karena mengenakan pakaian adat Jawa saat akan ke pura.

Masyarakat sekarang dapat belajar banyak dari keseharian masyarakat masa lalu. Perempuan yang mengenakan kain (jarikataukamên) panjang maupun pendek dianggap sesuatu kebiasaan yanglumrah dan diperbolehkan dalam tatanan sosial. Sekarang sudah waktunya generasi muda-Hindu di Banyuwangi percaya diri terhadap prinsip hidup yang diyakininya. Bukankah kita adalah seorang pemuda yang merdeka dan bertanggung jawab?.

Penggabungan kriteria busana perempuan Jawa Kuna dalam kategori sederhana gaya pertama dan kedua berdasarkan relief Karmawibhangga yang terdiri dari selembar kain panjang sebatas lutut atau sebatas mata kaki dililitkan pada bagian pinggang dan memutar dari kiri ke kanan. Hiasan penyerta berupa anting-anting dan kalung, ikat pinggang dari kain kecil, dan rambut disanggul.

Busana Pwrempuan Jawa
Busana Pwrempuan Jawa
Wujud nyata penggambaran busana yang dikenakan oleh perempuan Jawa Kuna  dalam konteks kekinian berdasarkan kriteria pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur dapat dilihat dalam foto di atas. Mereka mengenakan sanggul, anting-anting, bros, kebaya, ikat pinggang dari kain kecil, stagèn(korset), dan selembar kain panjang sebatas lutut atau sebatas mata kaki dililitkan pada bagian pinggang dan memutar dari kiri ke kanan. Apakah rambut harus disanggul? Tidak, alasan praktis ada penyanggulan pada rambut adalah agar terlihat rapi. Bagian rambut boleh digerai sebagaimana tergambar pada relief Srī Tañjung di Candi Jabung.

Relief Srī Tañjung di Candi Jabung dan perempuan dengan rambut yang tergerai.
Relief Srī Tañjung di Candi Jabung dan perempuan dengan rambut yang tergerai.
Relief Srī Tañjung tersebut menggambarkan seorang perempuan yang sedang di atas seekor ikan besar. Kepala perempuan ini menoleh ke belakang. Tangan kirinya memegang tubuh ikan, sedangkan tangan kanan memegang rambutnya yang tergerai dengan memakai hiasan. Ia memakai anting dan gelang pada pergelangan tangan dan mengenakan kalung di leher. Sementara itu, apabila diperhatikan lebih detil si perempuan juga mengenakan kain panjang semata kaki serta kebaya. Hal ini dapat diidentifikasi dari bentuk tubuh yang agak gemuk dan pada bagian pinggul terdapat batas kain yang jelas.

Pada hakikatnya tubuh perempuan adalah karya seni alami. Perempuan mengalami otoritas tubuhnya sebagai sesuatu yang estetis. Tubuh perempuan yang estetis selalu menarik untuk dieksplorasi ketimbang tubuh laki-laki (Sukeni, 2011: 302). Mungkin hal inilah yang mendasari Irigaray dalam tulisannya yang berjudul When Our Lips Speak Together berusaha mengembalikan tubuh perempuan kepada tempatnya ‘semula’ sebelum patriarki, (termasuk juga) wacana di luar perempuan yang membungkus tubuh perempuan ke dalam kategori-kategori sosial yang diciptakan budaya patriarki/laki-laki (Prabasmoro, 2007: 42).

Ya, di Indonesia hal-hal yang memamerkan aurat memang masih ditabukan padahal dulu payudara dan alat kelamin adalah gambar yang realistik. Tidak sedikit pun berkesan porno. Malah dianggap sebagai “kesuburan dan kehidupan yang utama”(Susantio, 2010). Apabila boleh jujur,sebenarnya perempuan Jawa memang tidak hanya menampilkan segalanya dengan kasat mata. Penampilan perempuan Jawa penuh isyarat, simbolisasi atau sasmita. Sifat yang demikian muncul dalam rangka mendidik. Penyampaian sikap dan perilaku yang tersamar merupakan bentuk kehalusan budi. Berarti pula seorang perempuan Jawa memang tidak berlaku vulgar sebab tubuh yang indah tidak pernah digambarkan telanjang dalam kesenian Jawa (Sedyawati, 2010: 242).

Daftar Pustaka

Miswanto. 2009. Esensi Falsafah Jawa bagi Peradaban Umat Hindu. Surabaya:Paramita.

Nastiti, Titi Surti. 2016. Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV. Bandung: Pustaka Jaya.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2007. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun