Meskipun pendapat yang dilontarkan oleh beliau untuk mengomentari pakem dalam pewayangan, namun ada poin penting yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang saya bahas yaitu jangan takut dengan pakem karena keberadaannya dapat berubah dan berkembang nut jaman kêlakoné(menurut zamannya). Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini masyarakat Jawa-Hindu di Banyuwangi ketika ke pura cenderung mengenakan pakaian adat masyarakat Bali dan bukan Jawa. Mereka masih enggan mengenakan pakaian adat milik sendiri karena takut dikucilkan dan indikasi ini pula yang saya rasakan ketika diprotes orangtua karena mengenakan pakaian adat Jawa saat akan ke pura.
Masyarakat sekarang dapat belajar banyak dari keseharian masyarakat masa lalu. Perempuan yang mengenakan kain (jarikataukamên) panjang maupun pendek dianggap sesuatu kebiasaan yanglumrah dan diperbolehkan dalam tatanan sosial. Sekarang sudah waktunya generasi muda-Hindu di Banyuwangi percaya diri terhadap prinsip hidup yang diyakininya. Bukankah kita adalah seorang pemuda yang merdeka dan bertanggung jawab?.
Penggabungan kriteria busana perempuan Jawa Kuna dalam kategori sederhana gaya pertama dan kedua berdasarkan relief Karmawibhangga yang terdiri dari selembar kain panjang sebatas lutut atau sebatas mata kaki dililitkan pada bagian pinggang dan memutar dari kiri ke kanan. Hiasan penyerta berupa anting-anting dan kalung, ikat pinggang dari kain kecil, dan rambut disanggul.
Pada hakikatnya tubuh perempuan adalah karya seni alami. Perempuan mengalami otoritas tubuhnya sebagai sesuatu yang estetis. Tubuh perempuan yang estetis selalu menarik untuk dieksplorasi ketimbang tubuh laki-laki (Sukeni, 2011: 302). Mungkin hal inilah yang mendasari Irigaray dalam tulisannya yang berjudul When Our Lips Speak Together berusaha mengembalikan tubuh perempuan kepada tempatnya ‘semula’ sebelum patriarki, (termasuk juga) wacana di luar perempuan yang membungkus tubuh perempuan ke dalam kategori-kategori sosial yang diciptakan budaya patriarki/laki-laki (Prabasmoro, 2007: 42).
Ya, di Indonesia hal-hal yang memamerkan aurat memang masih ditabukan padahal dulu payudara dan alat kelamin adalah gambar yang realistik. Tidak sedikit pun berkesan porno. Malah dianggap sebagai “kesuburan dan kehidupan yang utama”(Susantio, 2010). Apabila boleh jujur,sebenarnya perempuan Jawa memang tidak hanya menampilkan segalanya dengan kasat mata. Penampilan perempuan Jawa penuh isyarat, simbolisasi atau sasmita. Sifat yang demikian muncul dalam rangka mendidik. Penyampaian sikap dan perilaku yang tersamar merupakan bentuk kehalusan budi. Berarti pula seorang perempuan Jawa memang tidak berlaku vulgar sebab tubuh yang indah tidak pernah digambarkan telanjang dalam kesenian Jawa (Sedyawati, 2010: 242).
Daftar Pustaka
Miswanto. 2009. Esensi Falsafah Jawa bagi Peradaban Umat Hindu. Surabaya:Paramita.
Nastiti, Titi Surti. 2016. Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV. Bandung: Pustaka Jaya.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2007. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.