Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Busana Perempuan: Sebuah Counter Thesis Fenomena Sosial Keagamaan

22 Juni 2017   09:20 Diperbarui: 22 Juni 2017   09:28 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan dalam setiap zamannya selalu menemui sejumlah tantangan yang kian menguji ketangguhannya di tengah tatanan sosial. Sejak dulu, perempuan dipandang sangat penting dalam kehidupan sosial maupun keagamaan. Pada masa Jawa Kuna, kaum perempuan sudah terlibat dalam kegiatan sosial seperti pendamping suami dalam kegiatan sosial (prasasti Haliwangbang, 877 M dan relief cerita Lalitawistaradi Candi Borobudur yang menggambarkan Raja Suddodana dan permaisurinya, Dewī Māyā) dan begitu pula ketika ada pelaksanaan upacara perempuan turut aktif membantu suaminya dalam melaksanakan upacara, seperti disebutkan dalam prasasti Wukajana (tanpa angka tahun) bahwa Samgat Kalang Wungkal dibantu istrinya yang bernama Dyah Sucintê dan Dyah Kina, Dyah Waita, serta Dyah Sawitā memberikan pañcopacāra, yang terdiri dari bunga, boreh, lampu, kemenyan, dan bedak wangi kepadasang mamuat ujar (Nastiti, 2016: 315-341).

Sementara itu, Titi Surti Nastiti juga mengatakan bahwa pendidikan bagi perempuan sangat penting hal ini sebagaimana disebutkan dalam kakawin Rāmāyaṇasarggah6.37 yang menuliskan bagaimana ingatan Rāmā melayang kepada Sītā yang mendengarkan pelajaran tentang dharmaśāstrayang diberikan oleh pertapa perempuan. Sītā sendiri dikatakan selalu mengingat kaṇḍa dan parwwa selama ia dalam pengasingan di Langkā. Di samping agama dan sastra, para putri yang berada di antahpurīataukêputèn pun belajar etika, menyanyi, dan bahasa Sanskerta seperti yang dituliskan dalam kakawin Kṛṣṇayana pupuh 10.10 (Nastiti, 2016: 316-317).

Kebudayaan Jawa memiliki sejumlah ungkapan yang dijadikan sebagai pedoman hidup oleh masyarakat karena ungkapan tersebut mencerminkan kepribadian atau etika masyarakat bersangkutan.  Etika merupakan pengetahuan mengenai tata kehidupan yang perlu diketahui oleh setiap manusia. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, etika juga disebut sebagai filsafat moral yang membicarakan manusia dari sisi perbuatannya. Adapun ungkapan tersebut yang perlu dikemukakan dalam tulisan ini adalah ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana, lan ajining awak saka tumindak(kepribadian seseorang dapat dilihat dari cara mereka berbicara, berbusana, dan berperilaku) namun keberadaan etika yang terselubung dalam ungkapan ini tidak bersifat kaku.

Berkaitan dengan hal di atas, masyarakat Jawa memandang bahwa seorang perempuan harus dapat memegang prinsip trapsilaning wanita (tata krama perempuan). Meskipun berparas cantik tapi apabila ucapannya kasar dan menyakitkan maka hilanglah seluruh kecantikannya. Sebaliknya, walaupun kurang dianugerahi kecantikan jika bersikap lêmbah manah (rendah hati dan halus bicaranya tidak dibuat-buat) maka seorang laki-laki dapat terpikat padanya. 

Dalam seni pertunjukan wayang Jawa dikenal sejumlah tokoh perempuan dengan kepribadian masing-masing, seperti Dewi Wara Sembradra yang digambarkan berperawakan sedang, kuning langsat, ramah, murah senyum, dan memiliki mata yang tak liar. Selain itu, ia juga memiliki sikap tenang, tidak banyak bicara, berbudi halus, sungkan berbicara kasar, pemaaf, sederhana, dan berhati teguh.

Berdasarkan penggambaran yang bersumber dari relief Karmawibhangga Candi Borobudur, busana perempuan dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu sederhana, menengah, lengkap, dan khusus. Busana sederhana yang mereka kenakan ada dua gaya, pertama terdiri dari selembar kain panjang sebatas lutut dililitkan pada bagian pinggang dan memutar dari kiri ke kanan. Hiasan penyerta biasanya berupa anting-anting dan kalung. Kedua, terdiri dari selembar kain panjang sebatas mata kaki, dililitkan melingkar pada pinggang, dan memakai anting-anting, kalung, gelang, ikat pinggang dari kain kecil, dan rambut disanggul dua susun (Sjafrie, 1985: 35-38).

Busana perempuan pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur
Busana perempuan pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur
[/caption]

Apabila merujuk pada relief di atas, sebenarnya seorang perempuan yang mengenakan kain (jarikataukamên) panjang maupun pendek dianggap sesuatu kebiasaan yanglumrahdan tidak perlu diperdebatkan. Berkaitan dengan hal ini, saya pernah melakukan penyuluhan kepada teman sebaya. Dalam kesempatan tersebut saya mengatakan sebenarnya tidak masalah kalau ada seorang perempuan mengenakan kebaya lengan pendek danjarikatau kamên tidak sebatas mata kaki, sebab hal itu merupakan bagian dari hak seseorang dalam berekspresi.

Sebenarnya tidak ada yang perlu dirisaukan karena inti dari pemakaian kêmbên, jarik, kamên, dan kebaya oleh perempuan sejatinya memiliki tujuan untuk membentuk pemakainya menjadi lembut dan berhati-hati dalam bergerak. Kêmbênatau jarik/kamênyang cenderung dikenakan secara ketat, tidak hanya menciptalan siluet tubuh namun juga membentuk sikap pemakainya lebih lembut, sabar, berhati-hati, danluwês. Saya mencoba untuk memahami beberapa argumentasi yang digulirkan oleh masyarakat di media massa dan salah satunya menyatakan bahwa berpakaian adat ke pura harus mengikuti pakem (Fajar Bali, 2013). Tetapi ada pertanyaan yang cukup mengganjal yaitu pakaian adat daerah mana? Pakem yang dimaksud yang seperti apa?.

Jangan Takut Pakem

Manteb Sudarsono, seorang dalang wayang kulit Jawa asal Karanganyar, Jawa Tengah juga pernah berbicara tentang pakem dalam konteks pewayangan. Ia pernah mengatakan, “Wayang sejak lahir hingga sekarang tidak pernah mati dan terus berkembang nut jaman kêlakoné. Tentu ada yang bilang harus sesuai pakem. Saya tegaskan jangan takut pakem, karena pakem itu patokan dan dapat berubah” (KR Jogja, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun