Rutinitas mengantar dan menjemput jumatan dilakukan ibu hingga usiaku 11 tahun. Dan di usia 11 tahun, bacaan Quranku sudah lancar, bahkan ibu sering memintaku mengaji seusai sholat bersama. Dengan wajah tertunduk, ibu mendengarkan bacaan ayat-ayat suci yang kulantunkan. Sesekali airmatanya menetes. Aku ingin bertanya mengapa ibu kerap menangis setiap aku mengaji, namun aku belum berani menanyakannya.
Tapi suatu hari, aku pasti akan mengetahuinya.
***
“Mas Desta, Bude sakit. Semalam masuk rumah sakit” Nabila, adik sepupuku menelponku. Mengabarkan ibu tengah sakit. Tanpa bertanya terlalu banyak, aku memutuskan untuk pulang ke Tenggarong. Dan menemui ibuku. Ku tahan airmataku agar tak jatuh, karena pesan ibuku soal airmata lelaki begitu kuat merekat di kepalaku. Padahal, mendengar ibu tengah terbaring sakit di rumah sakit, sangat bisa membuatku menangis. Bagaimana tidak, sejak kecil ibu merawatku dengan cinta yang tegas. Walau ada ayah yang sesekali mengunjungiku, namun setelah ayah menikah lagi komunikasi kami menjadi berkurang intensitasnya.
“Ibu, aku ingin menangis. Ijinkan aku melanggar salah satu dari 4 hal itu”pintaku lirih dalam hati.
***
“Desta,” dengan suara pelan ibu memanggilku. “Ya, bu” jawabku sambil membetulkan selimut berwarna biru putih yang menyelimutinya. “Mengajilah untuk ibu, Nak !” pintanya dengan mata terpejam.
Entah apa yang tersirat dalam pikiranku, namun aku merasa sepertinya akan ada hal menyedihkan terjadi. Ku raih Quran dalam rangselku. Sebelumnya aku ke kamar mandi untuk berwudhu. Dengan di awali Bismillah, aku mulai membaca Al-Quran. Lagi-lagi kulihat airmata mengalir dari kedua mata ibuku, namun kali ini wajahnya tak menunduk, melainkan terbaring. Sehingga aku bisa dengan jelas memperhatikan wajahnya. Keningnya berkerut-kerut, kelopak matanya nampak berkedut-kedut seperti tengah menahan lajunya air mata, tapi kulihat bibirnya tersenyum. Ranum. Aku terus membaca ayat demi ayatnya. Tak ku perhatikan lagi wajah ibu, hingga tiba-tiba ponselku berbunyi, dengan suara yang rendah, terdengar alarm penanda waktu sholat ashar. Ku hentikan bacaanku, hendak sholat ashar. Perlahan ku dekati ibu yang matanya terpejam rapat, “Ibu, mari kita ashar bersama. Aku bantu pakaikan mukenanya, ya” Ibu tak bergeming, matanya tetap tertutup rapat dengan sisa-sisa airmata di sudut matanya. Ku coba lagi membangunkannya dengan suara agak lebih besar. Ku coba lagi dan lagi. Hingga 3 kali. Dan badanku bergetar karena tak kudapati nafas di hidung ibuku.
Aku menangis, tangisku pecah. Tumpah ruah. Saat perawat memastikan kematian ibuku. Kerabat yang bersamaku pun tak kalah sedih, hari itu aku menjadi paham mengapa ibu begitu “keras” menuntunku soal agama.
Semua karena ibu ingin tersenyum di akhir hidupnya. “Ibu, kali ini aku tak melanggar pesanmu. Aku menangis karena ibu, orangtuaku pergi selamanya” ratapku sambil terisak-isak membantu perawat mengurus jenazah ibuku.
***