Mohon tunggu...
Arke
Arke Mohon Tunggu... karyawan swasta -

2 + 2 = 5

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Waktu Menangisku Tiba

2 Desember 2016   14:25 Diperbarui: 2 Desember 2016   14:37 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa kali aku harus mengusap airmataku yang turun satu-satu. Tangisku tidak sepecah saat Arini, ibuku, meninggal 2 bulan yang lalu. Namun, berada di sisi pembaringan terahkir ibuku, walau sudah ratusan kali tetap saja mengundang pilu. Ditemani Gustaf, sepupuku, aku menyiramkan air yang ditempatkan pada botol bekas minuman mineral seukuran 1500 ml, satu plastik kecil bunga melati tergenggam erat di tangan kiriku. Keduanya kini telah membaur di pusara ibu. 

Aroma semerbak lembutnya melati menguap tipis di udara. Aku terpekur dalam doaku yang terbata-bata. Kubiarkan saja airmataku luruh tanpa rasa malu. Doa-doa berkumandang syahdu di angkasa, aku berusaha sangat khusyuk membaca buku Yasin yang kubawa. Harapanku, doa yang bergema di angkasa bisa segera sampai pada Tuhan, dan mengatakan pada ibuku, bahwa aku sudah tunaikan kewajibanku padanya. Seiring burung elang yang melayang-layang di sekitar pusara ibu, ingatanku pun terbang menemui kenangan masa kecilku.

***

Beberapa teman sekelasku asik bermain-main di halaman sekolah. Sebagai anak yang masih bersekolah di taman kanak-kanak, bermain adalah kebutuhan utama kami, seutama orang Indonesia menyantap nasi. Kulihat, sepupuku Gustaf yang kebetulan satu sekolah dengaku tengah asik bermain ayunan dengan Nazwa di sampingnya. Sementara aku, Toriq, Baim dan beberapa teman lagi, memilih untuk bermain sepak bola. Sesekali bola yang kami tendang mengenai beberapa teman perempuanku yang asik bermain seluncuran. Suara mereka melengking saat melihat sebuah bola mengarah pada mereka.

“Aw..aw..aw” jerit mereka sambil menutup kepalanya dengan kedua telapak tangan, melindungi kepalanya dari benturan bola. Aku bermain begitu riang, tak ada sedih ataupun gundah. Padahal saat itu, Ibu dan Ayah baru saja bercerai. Setelah menikah selama 7 tahun. Namun menurut penuturan Ibu dan Ayah, bercerai merupakan jalan terbaik bagi kami, -eh bukan...bukan bagi kami-. Tapi terbaik bagi mereka. Karena sebagai seorang anak, jalan terbaik bagiku adalah memiliki orangtua yang lengkap. Orangtua yang hidup bersama bukan terpisah. Walaupun berpisah, ayah adalah sosok yang bertanggungjawab, segala kebutuhanku dan ibu sangat tercukupi, bahkan seluruh isi rumah termasuk dua mobil di garasi diberikan semuanya padaku dan ibu. Ayah lebih memilih tinggal di rumah kakek dan membeli sebuah sepeda motor sebagai alat transportasi ke kantor.

Tiba-tiba aku melihat sosok ibuku keluar dari mobil, yang diparkirnya sekitar 10 meter dari pintu gerbang sekolah. Dan aku menjadi kesal. Aku tidak suka jika ibu menjemputku terlalu cepat. Karena sebagai anak tunggal, aku kerap kesepian walau ibu sering membawaku berjalan-jalan.Namun aku butuh teman yang usianya sebaya denganku.

“Desta!!!” Kulihat langkah ibu makin mendekat, sambil melambaikan tangannya, ibu memanggilku. Senyumnya yang khas mengembang di wajahnya. Kerudungnya yang berwarna tosca melambai-lambai tertiup angin. Akupun berlari, menghampiri ibuku. Ku dengar teriakan teman-teman yang tidak suka, karena aku meninggalkan permainan sebelum waktunya usai. “Yahh, Desta curang. Belum selesai, udah pulang” gerutu Toriq. Dengan peluh yang membasahi hampir seluruh wajahku, aku mengambil tas dalam kelas. Berpamitan pada bu Anik, wali kelasku sembari mencium tangannya “Hati-hati ya, Desta” pesannya.

Ibu meraihku dalam pelukannya “Baunya anak ibu ini” katanya gemas sambil mengusap keringat di wajahku.

Wajahku masam. “Huuhh, Ibu, kenapa udah datang?! Kan aku masih ingin bermain bola dengan teman-teman,” kataku merajuk sambil mengekor ibu masuk kedalam mobil.

“Ta, ini kan hari Jumat. Sebentar siang kamu harus Jumatan, pulang jumatan maem, bobo bentar terus jam setengah lima sekolah bola, jadi kalau lama-lama di sekolah nanti capek terus malas jumatan” Ibu membujukku dengan lembut, dengan pandangan tetap ke kemudi mobil. Aku diam. Tak ingin membantahnya. Karena seperti kata Ayahku, ibu adalah wanita kepala batu.

Aku ingin menangis, namun Ibuku selalu mengatakan bahwa sebagai seorang lelaki, jangan terlalu sering menangis, seorang laki-laki hanya boleh menangis dalam 4 hal. Pertama, saat berdoa, kedua saat membaca ijab kabul, ketiga saat melihat anaknya lahir dan yang keempat saat orangtuannya meninggal.

Sambil menyetir, ibu meraih jemariku, mengenggamnya dengan gemas. Ketika kecil, tubuhku tambun, sehingga jari jemariku ku pun gendut-gendut dan ibu sangat menyukainya.

***

Ibu adalah orang yang sangat konsisten terhadap pilihannya, ketika memutuskan untuk menjadi seorang mualaf, beberapa bulan sebelum menikah dengan Ayah. Dari cerita yang kudengar ibu begitu sungguh-sungguh mendalami agama barunya, Islam. Tak di hiraukannya kontra yang timbul. Bahkan ketika beberapa sahabatnya meninggalkan ibu, ibu tetap teguh pada pilihannya. Tapi ada satu hal yang belum bisa ibuku pelajari, yaitu mengaji. Katanya, ibu tidak bisa mengaji dengan baik bukan karena ibu tidak mau belajar, tapi karena ibu tidak pernah berhasil mengucapkan dengan benar hafalannya. Dan karena inilah, ibu begitu “keras” mengarahkanku soal pendidikan agama.

Tidak jarang ibu mencubitku gemas saat aku menolak diantar mengaji ke mesjid dan lebih memilih main playstation. “Kelak, saat ibu sakaratul maut dan meninggal, kamulah yang akan mengaji untuk ibu” katanya seusai menjemputku dari TPA di mesjid dekat rumah.

***

Pertumbuhanku berkembang tanpa terasa, waktu yang bergulir tanpa kehadiran seorang Ayah dan imam dalam keluarga, membuat ibu semakin “keras” menuntunku dalam agama.

Aku ingat sekali, saat itu usiaku menginjak sekolah dasar, dengan lembut namun tegas ibu menyuruhku ke mesjid untuk mengikuti ibadah sholat jumat. Awalnya aku tidak mau, karena aku merasa ketakutan, berada dalam lingkungan orang dewasa, tanpa seorangpun ku kenal. Namun ibu membujukku dengan iming-iming sepulang dari jumatan akan membelikanku es krim. Aku senang, dan keberanian ibuku menjalar di tubuhku. Ibu mengantarku dengan motor berjenis skuter, warnanya putih.

Ibu mengantarku sampai pintu terluar halaman masjid, diselipkannya uang sebesar dua ribu rupiah,“Ini untuk isi kotak dalam mesjid ya, Nak” Aku menerimanya dengan bingung, karena sejujurnya aku tidak tahu dimana letak kotak mesjid berada. Tapi aku memilih untuk diam, dan menyakinkan diri sendiri bahwa akan menemukan kotak tersebut.

“Ibu pulang dulu, nanti ibu jemput ya. Ibu janji sudah ada di sini sebelum jumatannya selesai” janji ibu memberi sedikit ketenangan akan ketakutanku.

Aku menapaki setiap anak tangga yang menuju pintu masuk mesjid, tentunya dengan beberapa kali menoleh. Sekali hinga 4 kali toleh, aku masih melihat ibu di atas motornya dengan senyum kebaikannya.

Namun saat tolehan ke lima, kulihat bayangan ibu meninggalkan mesjid. Yang tersisa hanyalah parfumnya beraroma citrus, yang sengaja di semprotkan sedikit di bajuku “Ke mesjid itu ibadah bertemu Allah, harus harum-harum” katanya sambil memakaikan baju koko berwarna putih pemberian Ayah, minggu lalu.

Rutinitas mengantar dan menjemput jumatan dilakukan ibu hingga usiaku 11 tahun. Dan di usia 11 tahun, bacaan Quranku sudah lancar, bahkan ibu sering memintaku mengaji seusai sholat bersama. Dengan wajah tertunduk, ibu mendengarkan bacaan ayat-ayat suci yang kulantunkan. Sesekali airmatanya menetes. Aku ingin bertanya mengapa ibu kerap menangis setiap aku mengaji, namun aku belum berani menanyakannya.

Tapi suatu hari, aku pasti akan mengetahuinya.

***

“Mas Desta, Bude sakit. Semalam masuk rumah sakit” Nabila, adik sepupuku menelponku. Mengabarkan ibu tengah sakit. Tanpa bertanya terlalu banyak, aku memutuskan untuk pulang ke Tenggarong. Dan menemui ibuku. Ku tahan airmataku agar tak jatuh, karena pesan ibuku soal airmata lelaki begitu kuat merekat di kepalaku. Padahal, mendengar ibu tengah terbaring sakit di rumah sakit, sangat bisa membuatku menangis. Bagaimana tidak, sejak kecil ibu merawatku dengan cinta yang tegas. Walau ada ayah yang sesekali mengunjungiku, namun setelah ayah menikah lagi komunikasi kami menjadi berkurang intensitasnya.

“Ibu, aku ingin menangis. Ijinkan aku melanggar salah satu dari 4 hal itu”pintaku lirih dalam hati.

 ***

 “Desta,” dengan suara pelan ibu memanggilku. “Ya, bu” jawabku sambil membetulkan selimut berwarna biru putih yang menyelimutinya. “Mengajilah untuk ibu, Nak !” pintanya dengan mata terpejam.

Entah apa yang tersirat dalam pikiranku, namun aku merasa sepertinya akan ada hal menyedihkan terjadi. Ku raih Quran dalam rangselku. Sebelumnya aku ke kamar mandi untuk berwudhu. Dengan di awali Bismillah, aku mulai membaca Al-Quran. Lagi-lagi kulihat airmata mengalir dari kedua mata ibuku, namun kali ini wajahnya tak menunduk, melainkan terbaring. Sehingga aku bisa dengan jelas memperhatikan wajahnya. Keningnya berkerut-kerut, kelopak matanya nampak berkedut-kedut seperti tengah menahan lajunya air mata, tapi kulihat bibirnya tersenyum. Ranum. Aku terus membaca ayat demi ayatnya. Tak ku perhatikan lagi wajah ibu, hingga tiba-tiba ponselku berbunyi, dengan suara yang rendah, terdengar alarm penanda waktu sholat ashar. Ku hentikan bacaanku, hendak sholat ashar. Perlahan ku dekati ibu yang matanya terpejam rapat, “Ibu, mari kita ashar bersama. Aku bantu pakaikan mukenanya, ya” Ibu tak bergeming, matanya tetap tertutup rapat dengan sisa-sisa airmata di sudut matanya. Ku coba lagi membangunkannya dengan suara agak lebih besar. Ku coba lagi dan lagi. Hingga 3 kali. Dan badanku bergetar karena tak kudapati nafas di hidung ibuku.

Aku menangis, tangisku pecah. Tumpah ruah. Saat perawat memastikan kematian ibuku. Kerabat yang bersamaku pun tak kalah sedih, hari itu aku menjadi paham mengapa ibu begitu “keras” menuntunku soal agama.

Semua karena ibu ingin tersenyum di akhir hidupnya. “Ibu, kali ini aku tak melanggar pesanmu. Aku menangis karena ibu, orangtuaku pergi selamanya” ratapku sambil terisak-isak membantu perawat mengurus jenazah ibuku.

***

Tepukan Gustaf di pundak kananku membuyarkan lamunan masa kecilku dan perihal kepergian ibu.

Aku berdiri tanpa menoleh pada Gustaf. Ku sentuh pusara ibu berkali-kali. “Ibu, terima kasih untuk cintamu. Akan ku kirim lantunan ayat-ayat suci sebanyak mungkin untukmu. Semoga bisa membuat perjalananmu kepadaNya menjadi mudah. Tidurlah ibu”

Kutinggalkan ibu dalam pembaringannya. Biarlah Tuhan saja yang kini menjaganya, seperti ibu dulu menjagaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun