Sambil menyetir, ibu meraih jemariku, mengenggamnya dengan gemas. Ketika kecil, tubuhku tambun, sehingga jari jemariku ku pun gendut-gendut dan ibu sangat menyukainya.
***
Ibu adalah orang yang sangat konsisten terhadap pilihannya, ketika memutuskan untuk menjadi seorang mualaf, beberapa bulan sebelum menikah dengan Ayah. Dari cerita yang kudengar ibu begitu sungguh-sungguh mendalami agama barunya, Islam. Tak di hiraukannya kontra yang timbul. Bahkan ketika beberapa sahabatnya meninggalkan ibu, ibu tetap teguh pada pilihannya. Tapi ada satu hal yang belum bisa ibuku pelajari, yaitu mengaji. Katanya, ibu tidak bisa mengaji dengan baik bukan karena ibu tidak mau belajar, tapi karena ibu tidak pernah berhasil mengucapkan dengan benar hafalannya. Dan karena inilah, ibu begitu “keras” mengarahkanku soal pendidikan agama.
Tidak jarang ibu mencubitku gemas saat aku menolak diantar mengaji ke mesjid dan lebih memilih main playstation. “Kelak, saat ibu sakaratul maut dan meninggal, kamulah yang akan mengaji untuk ibu” katanya seusai menjemputku dari TPA di mesjid dekat rumah.
***
Pertumbuhanku berkembang tanpa terasa, waktu yang bergulir tanpa kehadiran seorang Ayah dan imam dalam keluarga, membuat ibu semakin “keras” menuntunku dalam agama.
Aku ingat sekali, saat itu usiaku menginjak sekolah dasar, dengan lembut namun tegas ibu menyuruhku ke mesjid untuk mengikuti ibadah sholat jumat. Awalnya aku tidak mau, karena aku merasa ketakutan, berada dalam lingkungan orang dewasa, tanpa seorangpun ku kenal. Namun ibu membujukku dengan iming-iming sepulang dari jumatan akan membelikanku es krim. Aku senang, dan keberanian ibuku menjalar di tubuhku. Ibu mengantarku dengan motor berjenis skuter, warnanya putih.
Ibu mengantarku sampai pintu terluar halaman masjid, diselipkannya uang sebesar dua ribu rupiah,“Ini untuk isi kotak dalam mesjid ya, Nak” Aku menerimanya dengan bingung, karena sejujurnya aku tidak tahu dimana letak kotak mesjid berada. Tapi aku memilih untuk diam, dan menyakinkan diri sendiri bahwa akan menemukan kotak tersebut.
“Ibu pulang dulu, nanti ibu jemput ya. Ibu janji sudah ada di sini sebelum jumatannya selesai” janji ibu memberi sedikit ketenangan akan ketakutanku.
Aku menapaki setiap anak tangga yang menuju pintu masuk mesjid, tentunya dengan beberapa kali menoleh. Sekali hinga 4 kali toleh, aku masih melihat ibu di atas motornya dengan senyum kebaikannya.
Namun saat tolehan ke lima, kulihat bayangan ibu meninggalkan mesjid. Yang tersisa hanyalah parfumnya beraroma citrus, yang sengaja di semprotkan sedikit di bajuku “Ke mesjid itu ibadah bertemu Allah, harus harum-harum” katanya sambil memakaikan baju koko berwarna putih pemberian Ayah, minggu lalu.