AbstrakÂ
Dari hasil pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah harus menjalankan perannya yang mengarah kepada perubahan tingkah laku dan perubahan mikro sosial jangka pendek, sehingga PLS sangat cocok digunakan sebagai salah satu cara memberikan pendidikan kebencanaan kepada masyarakat dalam rangka mitigasi bencana. Peran pendidikan luar sekolah dalam rangka mitigasi bencana dapat ditempuh dengan memberikan pendidikan kebencanaan di lembaga kursus, PKBM, kelompok belajar, kelompok pengajian dan lainnya. Pendidikan kebencanaan di lembaga kursus ataupun pendidikan luar sekolah lainnya merupakan tanggungjawab pemilik atau pengelola, instruktur, tutor dengan bersinergi dengan lembaga lain yang difasilitasi oleh pemerintah, akademisi, LSM ataupun aktivis peduli bencana. Sebagai saran diharapkan kepada pemerintah secara periodik melakukan simulasi bencana dimulai dari lingkungan terkecil seperti RT/RW, kelurahan, lembaga kursus, kelompok pengajian dan lainnya. Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana ataupun perguruan tinggi diharapkan merumuskan tentang mitigasi bencana ke dalam modulmodul singkat khususnya dengan mengintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan luar sekolah. Sebagai langkah mitigasi bencana juga diharapkan kepada instansi terkait untuk melakukan pengujian dan pemeriksaan terhadap semua sistem peringatan dini disetiap gedung dan tempat khususnya lembaga pendidikan luar sekolah secara periodik seperti pemeriksaan alat pemadam api ringan, jaringan listrik dan lainnya
Pendahuluan
Pendidikan luar sekolah atau yang juga dikenal dengan Pendidikan Non Formal (PNF) dan pendidikan informal (pendidikan dalam kelurga) merupakan bagian dari jalur pelaksanaan pendidikan yang ada di Indonesia, berbeda dengan pendidikan formal yang dilaksanakan secara berstruktur dan berjenjang. Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Adapun fungsinya ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Menurut M. Saleh Marzuki (2005) peranan PLS dalam mengatasi berbagai masalah yang timbul di masyarakat masih belum dikenal oleh banyak kalangan termasuk para pendidik. Ada beberapa alasan mengapa Pendidikan Luar Sekolah kurang dikenal dan dipahami secara tepat antara lain:Â
1) Program diartikan secara sempit seperti pemberantasan buta aksara, Paket A, Paket B dan Paket C;
2) Aktifitasnya pasang surut;Â
3) Programnya kurang melibatkan stakeholders;Â
4) Belum merupakan inisiatif sendiri;Â
5) Dipersepsi sebagai sarana politik;Â
6) Dipersepsi sebagai sarana pendukung pemimpin lokal danÂ
7) kurang pahamnya para pengambil keputusan pendidikan di kalangan pemerintah.Â
Kota Bima berada pada posisi Pulau Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu "supermarket dan/atau aktivitas" bencana di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari rentetan peristiwa yang terjadi seperti gempa bumi tahun 2009 dan tahun 2011 dengan kekuatan 6,7 SR, ditahun 2011 hampir terjadi tsunami pada perairan sulawesi yang masuk pada teluk bima. Pada tahun 2006 dan tahun 2016 selama renggang waktu 10 tahun terjadi bencana banjir yang sangat dasyat dengan melulu lantahkan Kota Bima, ketinggi banjir setinggi 2,5 meter sampai 5 meter, disamping bencana yang dimaksud selama era tahun 2006 sampai 2016 juga terjadi kebakaran yang hampir terjadi setiap harinya. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam mengurangi dampak dan resiko bencana yang ditimbulkan, salah satunya adalah melalui pendidikan. Masyarakat yang terancam bencana sangat beragam, baik terdidik maupun yang masih belum tersentuh pendidikan semuanya perlu diberi pemahaman pentingnya pengurangan resiko bencana, dan salah satu cara adalah melalui pendidikan mitigasi bencana yang dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan nonformal (PNF) atau yang lebih dikenal dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) mempunyai peranan yang sangat strategis dalam memberikan pendidikan kebencanaan dan mitigasi di tengah-tengah masyarakat karena bisa menjangkau berbagai kalangan dan kelompok masyarakat. Dampak bencana yang sangat luar biasa selama ini terjadi lebih sering disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta mitigasi dalam mengurangi dampaknya. Mitigasi merupakan bagian dari kegiatan pra bencana, sedangkan pra bencana merupakan bagian dari siklus manajemen bencana (Nirmalawati, 2011). Bencana bisa terjadi melalui suatu proses yang panjang atau situasi tertentu dalam waktu yang sangat cepat tanpa adanya tandatanda (Fidel, 2005). Penanggulangan bencana bukan hanya pada saat terjadinya bencana dan pasca bencana namun jauh sebelum terjadinya bencana tindakan pencegahan dan mitigasi sudah dimulai, dimana hal ini bertujuan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan baik jiwa ataupun harta. Hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana pada pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Artinya bahwa mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU nomor 24 tahun 2007). Pengurangan Resiko Bencana (PRB) melalui pendidikan kebencanaan dapat diberikan melalui sistem pendidikan formal dan non formal yang bertujuan untuk mengubah pola pikir, sikap dan perilaku dalam upaya mengurangi resiko bencana serta menjadikan upaya pengurangan resiko bencana menjadi budaya masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Priyanto (2006), bahwa pengetahuan terkait dengan persiapan menghadapi bencana pada kelompok rentan bencana menjadi fokus utama. Masih rendahnya pendidikan kebencanaan di tengah masyarakat khususnya pada pendidikan luar sekolah, dapat dilihat masih adanya kasus kehilangan atau rusaknya alat deteksi tsunami di pantai, sirene atau alarm kebakaran di gedung yang dirusak atau dipecahkan, pohon-pohon yang ditebang sembarangan tanpa memperhatikan kesimbangan hutan, eksplorasi bahan galian yang sembarangan, perilaku ugal-ugalan di jalan raya ini semua merupakan contoh dari gagalnya pendidikan kebencanaan di tengah masyarakat. Indikasi lainnya dapat juga dilihat pada waktu terjadinya bencana, dimana kawasan bencana dijadikan "objek wisata" bencana oleh sebagian masyarakat lain. Jika dilihat dari korban yang ditimbulkan kebanyakan adalah anak-anak, sehingga juga akan berefek terhadap mental karena meninggalkan trauma yang sangat mendalam bagi anak-anak di masa yang akan datang. Menurut Susanto (2006) bahwa tidak mudah untuk menerapkan berbagai kebijakan dalam suasana bencana, karenanya dalam masamasa normal (pra bencana) perlu terus, dilakukan kesiapan yang meliputi pencegahan, mitigasi termasuk langkahlangkah kesiapsiagaan, disamping itu juga harus terus dilakukan penyuluhan dan sosialisasi secara luas agar masyarakat memiliki kemampuan dan mau berperan aktif mencegah dan menyiapkan langkah-langkah antisipasi meskipun dengan skala kecil. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka salah satu langkah yang ditempuh dalam pendidikan kebencanaan di tengah masyarakat adalah melalui pendidikan luar sekolah bisa berupa penyuluhan atau sosialisasi, pendidikan dan pelatihan simulasi bencana dan mitigasinya, sehingga diharapkan nantinya setiap anggota masyarakat dan keluarga sebagai satuan terkecil menjadi pionir dalam melahirkan masyarakat yang sadar dan siaga bencanaÂ
LANDASAN TEORI : Pendidikan Luar SekolahÂ
Pendidikan luar sekolah sebenarnya sudah ada jauh sebelum pendidikan formal lahir. Pendidikan luar sekolah (PLS) sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru dalam kehidupan manusia (Faure, 1981: 2). Selanjutnya pendidikan luar sekolah menurut Coombs (1983) merupakan kegiatan belajar yang terorganisasi untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu bagi sekelompok sasaran didik yang diselenggarakan di luar sistem persekolahan. Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar sesuai dengan normanorma atau aturan di dalam masyaratakat. Setiap orang dewasa di dalam masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupkan suatu perbuatan sosial yang mendasar untuk petumbuhan atau perkembangan anak didik menjadi manusia yang mampu berpikir dewasa dan bijak. Menurut Sudjana dan Coombs dalam M. Saleh Marzuki (2005) pendidikan nonformal, yang juga dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai istilah menurut perkembangannya, yaitu: Pendidikan Masyarakat (Penmas), Pendidikan Sosial (Pensos), dan Pendidikan Luar Sekolah (PLS), merupakan institusi atau lembaga pendidikan yang memiliki program layanan pendidikan yang luas dan kaya serta spesifik sebagai perwujudan implementasi tentang filsafat pendidikan sepanjang hayat (life long learning). Dengan pendidikan sepanjang hayat, secara sosiologis, psikologis, ekonomis, dan filosofis baik di negara maju maupun negara berkembang kenyataaannya sangat membutuhkan PLS yang saat ini lebih dikenal dengan pendidikan nonformal (PNF), karena memang dalam menghadapi pembangunan bangsa dan berbagai permasalahannya, tidak mungkin hanya mengandalkan pendidikan persekolahan atau pendidikan formal (PF) yang ternyata masih banyak memiliki kelemahan-kelemahan dan kritik terhadapnya. Menurut Sudjana dan Kamil dalam S. Mundzir (2013) PNF dalam perkembangannya memiliki sejarah yang panjang sepanjang sejarah peradaban manusia sehingga istilah PNF sangat beragam, misalnya: learning society, lifelong learning, shogai gakushu, recurrent education, permanent education, coommunity education, extention education, social education, adult education, dan continuing education. Pokok kajian keilmuan Pensos pada saat itu diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program pendidikan, dan kajian ini sangat dekat dengan konsep pembangunan masyarakat yang dikembangkan para pakar pembangunan dalam perspektif sosiologi. Perubahan konsep Pensos menjadi PLS juga tidak lepas dari pemikiran pakar PNF pada saat itu, di mana arah pembangunan pendidikan lebih ditekankan pada proses pembelajaran masyarakat sehingga tercipta masyarakat gemar belajar (learning society). Sedangkan perubahan nama PLS menjadi Pendidikan Nonformal (PNF) mengikuti perkembangan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana pada pasal 1 (satu) ayat 10 disebutkan tentang satuan pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal. Menurut Boyle dalam M. Saleh Marzuki (2005) ruang lingkup PLS dilihat dari jenis programnya dibagi ke dalam 3 jenis yaitu;
 1) informasional,Â
2) institusional dan,Â
3) developmental.
Callawarry dalam M. Saleh Marzuki (2005) program PLS dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu;
1) program keaksaraan;Â
2) program yang berhubungan dengan pekerjaan;Â
3) program perluasan (pertanian, industry);Â
4) program pengembangan masyarakat.Â
David Evans dalam M. Saleh Marzuki (2005) mengkategorikan PLS berdasarkan peranan dan fungsinya menjadi;Â
1) Complementary education; Â
2) Suplementary education;Â
3) Replacement education.Â
Complementary education berfungsi melengkapi pelajaran di sekolah karena biasanya kegiatan belajarnya tidak cocok disajikan di lokal atau sekolah. Suplementary education adalah sebagai tambahan pendidikan setelah tamat dari sekolah, karena di sekolah tidak mendapatkannya. Replacement education merupakan pendidikan bagi yang tidak dapat menikmati sekolah, biasanya berupa keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung dan pengetahuan-pengetahuan praktis seperti kesehatan, nutrisi, pertanian dan lain sebagainya. Jika dilihat dari literatur ataupun pelaksanaan program, PLS diarahkan kepada perubahan sosial dan perubahan perilaku. Eitzen dalam M. Saleh Marzuki (2005) mengemukakan bahwa PLS merupakan gerakan sosial yang sifatnya reformatif karena ia berusaha mengubah bagian penting dari suatu masyarakat seperti memperbaiki pendidikan wanita, memperbaiki lingkungan, usaha kecil dan lain-lain.
Mitigasi BencanaÂ
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh factor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Pasal 1 ayat 1 UU nomor 24 tahun 2007). Rahmat (2006) menyatakan bahwa mitigasi adalah suatu tahapan yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan dampak negative kejadian bencana terhadap kehidupan dengan menggunakan cara alternatif yang lebih dapat diterima secara ekologi. Bencana ini bisa berupa gempa bumi, tsunami, banjir, longsor, kebakaran, angin puting beliung, wabah penyakit maupun kecelakaan lalu lintas dan lainnya. Sebagai daerah yang rawan bencana, maka penanggulangan bencana sudah dimulai dari tahap pra bencana atau yang lebih dikenal dengan mitigasi bencana. Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Resiko (risk) bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Kegiatan mitigasi dapat dilakukan melalui sosialisasi bagaimana menghadapi bencana, simulasi evakuasi bencana, rambu-rambu rawan bencana, membuat jalur evakuasi, pendidikan dan pelatihan menghadapi dan mengurangi dampak bencana, dan lain sebagainya. Mitigasi bencana bisa berupa mitigasi fisik dan mitigasi non fisik. Mitigasi fisik (Structure Mitigation) merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dengan menurunkan kerentanan dan/atau meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman bencana dengan membangun infrastruktur. Sedangkan mitigasi non fisik merupakan (Non Structure Mitigation) upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dengan menurunkan kerentanan dan/atau meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman bencana dengan meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana (Perwali Kota Bima nomor 38 tahun 2018).Â
Pendidikan Kebencanaan Dalam Masyarakat
Menurut Triutomo dalam Nirmalawati (2011), bahwa masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga merasa tidak perlu lagi berusaha untuk mempelajari langkah-langkah pencegahan. Sedangkan menurut pendapat Priyanto (2006) bahwa pengetahuan partisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannya menghadapi gempa bumi. Zakaria dalam Nirmalawati (2011) menyatakan bahwa kesiapsiagaan yang perlu dilakukan oleh masyarakat, diantaranya adalahÂ
(a) Memahami bahaya yang timbul oleh bencana, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana perlu memahami bahaya yang mungkin dialami ketika bencana datang, kapan bencana tersebut datang di daerah tersebut, daerah mana saja yang aman untuk menghindari bencana.Â
(b) Menyiapkan peta daerah rawan bencana; peta daerah rawan bencana didasarkan pada berbagai penyebab dan risiko bencana (geologis dan klimatologis) sebagai salah pertimbangan perencanaan pembangunan dan penanggulangan untuk pencegahan bencana, di dalam peta perlu dilampirkan keterangan seperti tingkat risiko, jumlah penduduk, jumlah lahan, ternak, dan sebagainya serta sangat penting mencantumkan tempat aman dan jalur aman yang dapat dilalui untuk evakuasi.
Menurut Susanto (2006) bahwa tak gampang untuk menerapkan berbagai kebijakan dalam suasana bencana. Karenanya dalam masa-masa normal perlu terus dilakukan kesiapan yang meliputi pencegahan, mitigasi termasuk langkahlangkah kesiapsiagaan. Juga harus terus dilakukan penyuluhan dan sosialisasi secara luas agar masyarakat memiliki kemampuan dan mau berperan aktif mencegah dan menyiapkan langkah-langkah antisipasi meskipun dengan skala kecil. Menurut pendapat Kodoati dan Syarief (2006), bahwa tindakan-tindakan mengurangi dampak banjir pada individu dan masyarakat dilakukan dengan informasi dan pendidikan, sehingga untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi banjir akan lebih efektif lewat jalur pendidikan. Oleh Karena itu pemahaman tentang sumber bahaya dan potensi bencana kepada masyarakat hendaknya diintensifkan dengan diselenggarakannya pendidikan dan latihan, penyebaran brosur, pamflet, sehingga dapat meningkatkan kesadaran publik akan bencana. Minimnya alat petunjuk dan peraga dalam rangka antisipasi bencana menyebabkan banyak anak-anak dan bahkan orang dewasa sekalipun akan panik ketika bencana terjadi. Kesadaran akan pentingnya alat-alat peraga, peta dan penunjuk jalur evakuasi, peringatanperingatan, tas siaga bencana dan lain sebagainya akan tetap terjaga dan terawat jika masingmasing keluarga dalam masyarakat menyadari dan mengajarkan serta saling mengingatkan antar masing-masing anggota keluarga tentang pendidikan kebencanaan, sehingga nantinya akan melahirkan generasi yang sadar dan peduli bencana. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana. Salah satu indikator kurangnya kesadaran bencana adalah banyaknya alat-alat peraga bencana, peta, petunjuk jalur evakuasi, sistem peringatan dini bencana baik gempa/tsunami, alarm kebakaran, alat pemadam api ringan (APAR) yang banyak tidak berfungsi, dirusak atau bahkan hilang.
HASIL DAN PEMBAHASANÂ
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Pasal 1 ayat 1 UU nomor 24 tahun 2007). Disamping bencana yang disebabkan oleh faktor alam, bencana yang disebabkan oleh faktor non alam seperti kebakaran, wabah penyakit, kecelakaan di jalan raya, tawuran pelajar, tawuran antar kampung atau kelompok juga rawan terjadi. Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan kebencanaan dalam rangka mitigasi bencana pada setiap anggota masyarakat mutlak harus dilakukan karena merupakan salah satu solusi mitigasi non fisik. Untuk mendapatkan hasil guna yang efektif dalam program Pengurangan Resiko Bencana (PRB) secara fisik maupun nonfisik, pendidikan formal saja tidak akan cukup mengingat rumitnya masalah. Untuk mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan dari semua resiko bencana tersebut diperlukan kegiatan pengurangan resiko bencana atau mitigasi bencana melalui pendidikan kebencanaan dengan mengoptimalkan peranan dari Pendidikan Luar Sekolah. Berdasarkan data BPNB Kota Bima untuk gempa bumi tahun 2009 dan 2011 yang melanda kota Bima dan sekitarnya diketahui jumlah korban meninggal sebanyak 69 orang, 3 orang hilang, 891 orang luka berat. Data korban lainnya adalah luka berat 891 orang dan luka ringan 705. Untuk data kerusakan, tercatat 1.105 rumah penduduk rusak berat, 203 rusak sedang, dan 97 rusak ringan. Untuk kerusakan sarana fasilitas umum, tercatat jumlah kerusakan sebanyak 37 ruang pendidikan, 11 unit fasilitas kesehatan, 27 rumah ibadah, 9 unit jembatan, 58 unit ruas jalan, dan 27 irigasi rusak berat. Dari data tersebut diketahui bahwa sebanyak 37 ruang pendidikan mengalami kerusakan dan salah satu tempat ditemukan korban khususnya anak-anak meninggal ataupun luka berat adalah di tempat bimbingan belajar PUTRI. Pendidikan luar sekolah yang menjangkau berbagai kalangan khususnya yang tidak mampu menikmati pendidikan formal di bangku sekolah, maka pemerintah dapat menggunakan pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat, kelompok yasinan, kelompok tani, lembaga kursus sebagai sarana pembelajaran bagi warga belajar atau anggota kelompok untuk mengetahui dan memahami mitigasi bencana sebelum terjadi, saat bencana berlangsung ataupun pasca bencana terjadi. Lembaga kursus dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan salah satu contoh pendidikan luar sekolah. Berdasarkan pengalaman gempa diatas, agar kasus serupa tidak terulang lagi dengan memakan korban yang cukup banyak, maka salah satu cara mitigasi bencananya adalah dengan memberikan pendidikan kebencanaan kepada pemilik, instruktur, tutor maupun peserta bimbingan belajar atau warga belajar. Pendidikan kebencanaan yang diberikan kepada para pemilik, instruktur, tutor dan para peserta atau warga belajar adalah dengan memberikan pelatihan atau simulasi, sosialisasi yang terjadwal dan berkelanjutan di setiap lembaga kursus ataupun PKBM. Dalam memberikan pendidikan kebencanaan terhadap mereka, maka pemerintah dapat bekerjasama dengan para aktivis peduli bencana, perguruan tinggi dan pihak lain untuk menyiapkan modul-modul pendidikan kebencanaan dengan konsep pendidikan luar sekolah.
KESIMPULANÂ
Dari hasil pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah harus menjalankan perannya yang mengarah kepada perubahan tingkah laku dan perubahan mikro sosial jangka pendek, sehingga PLS sangat cocok digunakan sebagai salah satu cara memberikan pendidikan kebencanaan kepada masyarakat dalam rangka mitigasi bencana. Peran pendidikan luar sekolah dalam rangka mitigasi bencana dapat ditempuh dengan memberikan pendidikan kebencanaan di lembaga kursus, PKBM, kelompok belajar, kelompok pengajian dan lainnya. Pendidikan kebencanaan di lembaga kursus ataupun pendidikan luar sekolah lainnya merupakan tanggungjawab pemilik atau pengelola, instruktur, tutor dengan bersinergi dengan lembaga lain yang difasilitasi oleh pemerintah, akademisi, LSM ataupun aktivis peduli bencana. Sebagai saran diharapkan kepada pemerintah secara periodik melakukan simulasi bencana dimulai dari lingkungan terkecil seperti RT/RW, kelurahan, lembaga kursus, kelompok pengajian dan lainnya. Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana ataupun perguruan tinggi diharapkan merumuskan tentang mitigasi bencana ke dalam modulmodul singkat khususnya dengan mengintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan luar sekolah. Sebagai langkah mitigasi bencana juga diharapkan kepada instansi terkait untuk melakukan pengujian  dan pemeriksaan terhadap semua sistem peringatan dini disetiap gedung dan tempat khususnya lembaga pendidikan luar sekolah secara periodik seperti pemeriksaan alat pemadam api ringan, jaringan listrik dan lainnya.Â
DAFTAR PUSTAKAÂ
Kodoatie, Robert dan Roestam. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu : Banjir, Longsor. Jakarta LIPI
 UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.Â
M. Saleh Marzuki, 2005. Peranan Pendidikan Luar Sekolah Sebagai Penggerak Pembangunan Dalam Mengatasi Migran Perkotaan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Malang.Â
Maimunah Hasan. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Diva Press.Â
Mundzir. S. 2012. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal.Â
UNP Nirmalawati, 2011. Pembentukan Konsep Diri Pada Siswa Pendidikan Dasar Dalam Memahami Mitigasi Bencana.Â
Jurnal SMARTek, Vol. 9 No. 1 Februari 2011: 61-69.Â
Priyanto. A. 2006. Promosi Kesehatan Pada Situasi Emergensi. Edisi 2, Jakarta.Â
Ramli, S., 2010, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta: Dian Rakyat.Â
Rachmat, A., 2005, Manajemen dan Mitigasi Bencana. Bandung: BPLHD. Ramli, S., 2010, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management), Jakarta: Dian Rakyat.Â
Sitti Irene Astuti D, dkk. 2010. Peran Sekolah Dalam Pembelajaran Mitigasi Bencana.Â
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 1 Nomor 1 Tahun 2010. BNPB.Â
Sulistyaningsih, Wiwik. 2012 "Ketangguhan Mental Anak Dalam Menghadapi Bencana", 1"vol 3",25-34Â
Susanto. 2006. Disaster Manajemen di Negeri Rawan Bencana. Cetakan Pertama, PT Aksara Grafika Pratama, Jakarta.Â
Syamsul, M. 2007. Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir. BNPB JakartaÂ
UNDP, 1995, Program dan Pelatihan Managemen Bencana, Mitigasi Bencana: UNDP ______2004, West Java Province Environmental Strategy. Bandung: Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) ______2000, What Is Mitigation? Mitigation: Reduction Risk through Mitigation. Washington: Federal Emergency Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Â
Peraturan Walikota Bima nomor nomor 38 tahun 2018 tentang Rencana Penanggulangan Bencana Kota Bima Tahun 2018 -- 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H