Menurut Susanto (2006) bahwa tak gampang untuk menerapkan berbagai kebijakan dalam suasana bencana. Karenanya dalam masa-masa normal perlu terus dilakukan kesiapan yang meliputi pencegahan, mitigasi termasuk langkahlangkah kesiapsiagaan. Juga harus terus dilakukan penyuluhan dan sosialisasi secara luas agar masyarakat memiliki kemampuan dan mau berperan aktif mencegah dan menyiapkan langkah-langkah antisipasi meskipun dengan skala kecil. Menurut pendapat Kodoati dan Syarief (2006), bahwa tindakan-tindakan mengurangi dampak banjir pada individu dan masyarakat dilakukan dengan informasi dan pendidikan, sehingga untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi banjir akan lebih efektif lewat jalur pendidikan. Oleh Karena itu pemahaman tentang sumber bahaya dan potensi bencana kepada masyarakat hendaknya diintensifkan dengan diselenggarakannya pendidikan dan latihan, penyebaran brosur, pamflet, sehingga dapat meningkatkan kesadaran publik akan bencana. Minimnya alat petunjuk dan peraga dalam rangka antisipasi bencana menyebabkan banyak anak-anak dan bahkan orang dewasa sekalipun akan panik ketika bencana terjadi. Kesadaran akan pentingnya alat-alat peraga, peta dan penunjuk jalur evakuasi, peringatanperingatan, tas siaga bencana dan lain sebagainya akan tetap terjaga dan terawat jika masingmasing keluarga dalam masyarakat menyadari dan mengajarkan serta saling mengingatkan antar masing-masing anggota keluarga tentang pendidikan kebencanaan, sehingga nantinya akan melahirkan generasi yang sadar dan peduli bencana. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana. Salah satu indikator kurangnya kesadaran bencana adalah banyaknya alat-alat peraga bencana, peta, petunjuk jalur evakuasi, sistem peringatan dini bencana baik gempa/tsunami, alarm kebakaran, alat pemadam api ringan (APAR) yang banyak tidak berfungsi, dirusak atau bahkan hilang.
HASIL DAN PEMBAHASANÂ
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Pasal 1 ayat 1 UU nomor 24 tahun 2007). Disamping bencana yang disebabkan oleh faktor alam, bencana yang disebabkan oleh faktor non alam seperti kebakaran, wabah penyakit, kecelakaan di jalan raya, tawuran pelajar, tawuran antar kampung atau kelompok juga rawan terjadi. Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan kebencanaan dalam rangka mitigasi bencana pada setiap anggota masyarakat mutlak harus dilakukan karena merupakan salah satu solusi mitigasi non fisik. Untuk mendapatkan hasil guna yang efektif dalam program Pengurangan Resiko Bencana (PRB) secara fisik maupun nonfisik, pendidikan formal saja tidak akan cukup mengingat rumitnya masalah. Untuk mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan dari semua resiko bencana tersebut diperlukan kegiatan pengurangan resiko bencana atau mitigasi bencana melalui pendidikan kebencanaan dengan mengoptimalkan peranan dari Pendidikan Luar Sekolah. Berdasarkan data BPNB Kota Bima untuk gempa bumi tahun 2009 dan 2011 yang melanda kota Bima dan sekitarnya diketahui jumlah korban meninggal sebanyak 69 orang, 3 orang hilang, 891 orang luka berat. Data korban lainnya adalah luka berat 891 orang dan luka ringan 705. Untuk data kerusakan, tercatat 1.105 rumah penduduk rusak berat, 203 rusak sedang, dan 97 rusak ringan. Untuk kerusakan sarana fasilitas umum, tercatat jumlah kerusakan sebanyak 37 ruang pendidikan, 11 unit fasilitas kesehatan, 27 rumah ibadah, 9 unit jembatan, 58 unit ruas jalan, dan 27 irigasi rusak berat. Dari data tersebut diketahui bahwa sebanyak 37 ruang pendidikan mengalami kerusakan dan salah satu tempat ditemukan korban khususnya anak-anak meninggal ataupun luka berat adalah di tempat bimbingan belajar PUTRI. Pendidikan luar sekolah yang menjangkau berbagai kalangan khususnya yang tidak mampu menikmati pendidikan formal di bangku sekolah, maka pemerintah dapat menggunakan pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat, kelompok yasinan, kelompok tani, lembaga kursus sebagai sarana pembelajaran bagi warga belajar atau anggota kelompok untuk mengetahui dan memahami mitigasi bencana sebelum terjadi, saat bencana berlangsung ataupun pasca bencana terjadi. Lembaga kursus dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan salah satu contoh pendidikan luar sekolah. Berdasarkan pengalaman gempa diatas, agar kasus serupa tidak terulang lagi dengan memakan korban yang cukup banyak, maka salah satu cara mitigasi bencananya adalah dengan memberikan pendidikan kebencanaan kepada pemilik, instruktur, tutor maupun peserta bimbingan belajar atau warga belajar. Pendidikan kebencanaan yang diberikan kepada para pemilik, instruktur, tutor dan para peserta atau warga belajar adalah dengan memberikan pelatihan atau simulasi, sosialisasi yang terjadwal dan berkelanjutan di setiap lembaga kursus ataupun PKBM. Dalam memberikan pendidikan kebencanaan terhadap mereka, maka pemerintah dapat bekerjasama dengan para aktivis peduli bencana, perguruan tinggi dan pihak lain untuk menyiapkan modul-modul pendidikan kebencanaan dengan konsep pendidikan luar sekolah.
KESIMPULANÂ
Dari hasil pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah harus menjalankan perannya yang mengarah kepada perubahan tingkah laku dan perubahan mikro sosial jangka pendek, sehingga PLS sangat cocok digunakan sebagai salah satu cara memberikan pendidikan kebencanaan kepada masyarakat dalam rangka mitigasi bencana. Peran pendidikan luar sekolah dalam rangka mitigasi bencana dapat ditempuh dengan memberikan pendidikan kebencanaan di lembaga kursus, PKBM, kelompok belajar, kelompok pengajian dan lainnya. Pendidikan kebencanaan di lembaga kursus ataupun pendidikan luar sekolah lainnya merupakan tanggungjawab pemilik atau pengelola, instruktur, tutor dengan bersinergi dengan lembaga lain yang difasilitasi oleh pemerintah, akademisi, LSM ataupun aktivis peduli bencana. Sebagai saran diharapkan kepada pemerintah secara periodik melakukan simulasi bencana dimulai dari lingkungan terkecil seperti RT/RW, kelurahan, lembaga kursus, kelompok pengajian dan lainnya. Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana ataupun perguruan tinggi diharapkan merumuskan tentang mitigasi bencana ke dalam modulmodul singkat khususnya dengan mengintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan luar sekolah. Sebagai langkah mitigasi bencana juga diharapkan kepada instansi terkait untuk melakukan pengujian  dan pemeriksaan terhadap semua sistem peringatan dini disetiap gedung dan tempat khususnya lembaga pendidikan luar sekolah secara periodik seperti pemeriksaan alat pemadam api ringan, jaringan listrik dan lainnya.Â
DAFTAR PUSTAKAÂ
Kodoatie, Robert dan Roestam. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu : Banjir, Longsor. Jakarta LIPI
 UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.Â
M. Saleh Marzuki, 2005. Peranan Pendidikan Luar Sekolah Sebagai Penggerak Pembangunan Dalam Mengatasi Migran Perkotaan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Malang.Â
Maimunah Hasan. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Diva Press.Â
Mundzir. S. 2012. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal.Â