Aran datang menghampiri lalu menyodorkan sebotol air mineral. Mirda hanya mengangguk pelan sambil meraih botol dan membuka tutupnya. Hanya seteguk yang diminumnya, sekadar menghargai perhatian suaminya.
"Dik. Abang tinggal dulu sebentar ya, mau antar kasur ke kontrakan baru Kita. Soalnya tuh anak-anak kesulitan juga angkut kasur Kita" ucap Aran lembut. Mirda  lantas memegang tangan suaminya dengan erat-erat. Kepalanya mendongak ke atas agar dapat menatap wajah suaminya.
"Mirda takut di sini Bang," ujarnya lirih.
"Dik maunya Abang juga Kamu menunggu di rumah baru sana. Tapi kan masih berantakan banget. Nah Abang mau siapkan sekalian kasur dan ruang tidur Kamu," ujar Aran mencoba memberi pengertian kepada istrinya.
Mirda tidak menanggapi ucapan itu, malahan makin mempererat pegangannya. Aran pun segera berjongkok di depan istrinya.
"Abang paham Dik. Â Tapi di sini kan ada Mang Dadang yang bantu-bantu,"pinta Aran.
Lagi pula Dik sebentar lagi Mpok Yati  mau ke sini mengambil kunci rumah ini," sambung Aran.
Akhirnya Mirda mau melepaskan tangan  suaminya. Selanjutnya Aran segera bergegas membantu mendorong gerobak dengan springbed di atasnya. Tak lama pun suasana rumah jadi sepi dari suara barang bergeser atau saling bertubrukan.
"Kalau perlu apa-apa Uni Mirda panggil Mamang aja. Ini nih, Mamang mengemas kardus di ruang tamu," tegur Mang Dadang mengingatkan Mirda yang mulai tenggelam  dalam lamunan.
Pelan-pelan pandangan Mirda kembali menerawang. Ingatannya membawa ke suatu tempat nun jauh di seberang sana. Lalu hadirlah gambaran tempat tinggalnya semasa gadis dulu, sebuah daerah eksotis kampung kelahirannya Bukit Tinggi. Akhir 1990-an, wilayah perbukitan di Provinsi Sumatera Barat  itu sudah ramai penduduknya dan banyak bangunan modern berdiri. Namun masih banyak juga rumah adat dengan atap berbentuk tanduk kerbau yang dipertahankan orisinalitasnya, suasana ranah Minang senantiasa hadir dan terjaga.
Terbayang jelas wajah mamak dan saudara satu atap yang selalu riang, saling bercakap ketika menyiapkan makan bersama. Kemudian muncul bayangang sosok Anduang (nenek dalam bahasa Minang) Â yang sangat sayang dan selalu memanjakan Mirda. Pada saat itu usia Anduang sudah mencapai 93 tahun, tapi geraknya masih lincah dan cekatan meracik masakan khas urang awak. Wajah Anduang selalu cerah dan ceria karena giat ibadah dan pandai baca Qur'an, sehingga jarang orang dapat menerka kalau usianya hampir masuk satu abad. Hanya bentuk tubuhnya yang sudah membungkuk membuatnya disebut lanjut usia. Badan kecil dan agak membungkuk itulah yang membuat Mirda serta saudara yang lain memanggilnya Anduang Bongkok.