Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Alumni IISIP Jakarta, pernah bekerja di Tabloid Paron, Power, Gossip majalah sportif dan PT Virgo Putra Film sebagai desainer grafis (artistik). Jurnalis Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Saat ini aktif sebagai Koordinator masyarakat peduli dakwah peradaban Al Madania dan pengurus Yayasan Cahaya Kuntum Bangsa (YCKB) Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sohor

30 April 2022   11:19 Diperbarui: 6 September 2023   11:50 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Plok! Mpok Ida menepuk pundak Babe Ramlan yang sedang asyik menikmati keindahan mahluk Tuhan asal Solo itu. Dampaknya raut wajah lelaki tua itu berubah masam.

"Jangan sampai seperti RW sebelumnya Beh, jadi kesangkut kasus penggelapan uang gara-gara terima bantuan dari orang partai" tukas Sekretaris RW sambil memberi isyarat supaya segera berangkat.

Ketiganya segera bergegas menuju pasar. Karena jalanan sempit, Babeh Ramlan mempersilahkan kedua pejabat lingkungan warga berjalan mendahuluinya.  Perilaku Babeh nampak seperti para pria Prancis yang menerapkan prinsip Ladies First nan romantis. Nyatanya lelaki tua itu sengaja berjalan belakangan agar dapat menyaksikan 'tampilan'  Bu RW dari bagian belakang.

"Kok bisa ye si Ida body-nye lebar begitu sementara si Marni tipis tapi padet kaye semangke bareng timun suri. Padahal kan umurnye die berdue sama"  pikir Babeh Ramlan  sambil senyum-senyum nakal.

Tiba-tiba Mpok Ida berpindah posisi ke belakang Bu RW lalu menghentikan langkah mereka. Otomatis Babeh Ramlan tidak sempat menghentikan langkah dan gilirannya berjalan di depan.

"Beh, bukannye Nabi Musa jalannye lebih duluan daripade kedua putrinye Nabi Syuaib Alaihi Salam. Nah Babeh duluan dah, kan yang nulungin Kita berdua dari kelangkaan air eh minyak goreng" ujar Mpok Ida membuat sang pesohor kampung itu cemberut.

Tak berapa lama, ketiganya tiba di kios sembako Engkoh Tju Pie.  Suasana di lantai dasar Pasar Rumput cukup lengang, beberapa penjaga toko asyik  berbincang atau malah duduk santai di lantai.  Sungguh kontras dengan hari-hari sebelumnya yang padat pembeli serta kisruh oleh hilir mudik kuli pengangkut barang.

Ternyata orang yang dicari tidak ada di tempat. Salah satu pegawai kios mengantar mereka ke lantai  tiga, dimana Engkoh Tju Pie memiliki juga dua kios sepatu dan pakaian sekolah.

"Aduh Bu el-we (RW) mah... pintal memuji.   Kios-kios Saya mah cuma walican (warisan) dali nenek moyang, dali sejak  ini pasal (pasar)  cuma tempat jualan lumput (rumput) sebelom Belanda dateng  ke Sunda Kelapa,"jelas Engkoh Tju Pie setelah menerima pujian dari Sumarni atas kedermawanannya membagikan  paket bantuan sosial kepada warga belakang Pasar Rumput.

"Keluarganye Engkoh Tju Pie emang udah sohor dari dulu Bu RW.  Kata Engkong Saye  yang baru meninggal bulan kemaren, orangtuanye Engkoh Tju Pie yang duluan bikin toko-toko di  Pasar Rumput sama paling banyak keluarganye yang dagang dimari. Betul kan ye Koh" timpal Mpok Ida.

 Warga keturunan Tionghoa itu mengangguk-angguk senang membenarkan pernyataan sekaligus pertanyaan Mpok Ida.  Selanjutnya dia menjelaskan perjuangan keluarganya turun temurun membangun bisnis era penjajahan hingga masa kini, namun tentu saja dengan pandangan yang tak pernah lepas dari paras ayu Bu RW.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun