SOHOR
By Ariya Al Batawy
SEORANG lelaki tua berjalan tergesa menyusuri jalan-jalan sempit  di belakang Pasar Rumput, Jakarta Selatan.  Biasanya di siang bolong yang terik sekalipun, jalanan  dengan lebar satu setengah meter itu selalu dipadati warga yang hilir mudik ke pasar. Namun pada siang yang mendung seperti ini malah sepi sehingga lelaki tua dapat melangkah leluasa.
"Beh! Buru-buru banget jalannye, kagak puase ape?" tanya seorang  remaja yang sedang  bersandar di pintu rumah.
Orang yang ditanya hanya melambaikan tangan  memberi isyarat ada keperluan mendesak. Tapi gerak langkahnya sedikit dilambankan,  dirinya baru tersadar jika hari ini adalah awal puasa Ramadhan.
"Pantes jalanan sepi, warge pade bobo siang nih," gumamnya dalam hati sambil tersenyum geli.
"Bu RW, buruan deh kumpulin warge.  Tu minyak goreng ame duit  udeh  sampai di masjid depan pasar, bada ashar mao dibagi'in langsung  Engkoh Tju Pie," ujar lelaki tua bersemangat ketika tiba di tempat yang dituju dan bertemu langsung dengan orang yang dicari.
"Siap Babeh Ramlan. Warganya sesuai catatan kemarin toh?" jawab Bu RW Sumarni mantan putri Solo  yang hijrah dan menetap di Jakarta  sejak dua puluh tahun lalu.
"Ho'oh dong Bu RW yang ayu. Â Tapi jangan lupe pisahin lima paket jatah Saye," ujar lelaki tua itu sambil mengedip mata sebelah kirinya.
Bu RW mengacuhkan kegenitan  lelaki tua itu. Perempuan setengah baya beranak tiga  itu sepintas mirip selebriti Wulan Guritno, jadi bukan sekali dua kali  lelaki mencoba merayunya.  Sumar Sumarni adalah sosok  pemimpin perempuan tangguh ketika mengayomi warganya, namun pada sisi lain ia adalah istri yang setia dari Marto seorang guru honorer sejati sebuah madrasah swasta di pinggiran Jakarta.
Bu RW mengambil android miliknya lalu memainkan telunjuknya yang lentik dan bersih, hanya beberapa sapuan lembut di atas layar perangkat telekomunikasi digital maka berdatanganlah beberapa warga.