Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ular di Kaki Haji Wardan

20 Desember 2015   05:43 Diperbarui: 1 April 2017   09:05 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

AK Basuki

Haji Wardan merasa salat dan zikirnya tidak lagi khusyuk. Terlalu banyak urusan duniawi yang membuatnya gagal tenggelam dalam laku ibadat sejati. Usaha dagang yang semakin besar memaksanya selalu sibuk sedang orang tua yang alim itu sangat ingin meningkatkan kadar keimanannya hingga mencapai tingkatan tertinggi yang bisa dicapai manusia di mata Tuhan sebelum mati. Dia membutuhkan sebuah tempat yang tenang di mana hanya akan ada dirinya dan Tuhan.

Keinginan menggebu untuk hijrah sementara waktu dan mencicipi rasanya menjadi zuhud itu pun segera diwujudkan. Dibangunnya sebuah pondok berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia, jauh di dalam hutan. Selesai dalam dua hari, lewat orang-orang suruhan yang bekerja membangun pondok itu dia menitipkan pesan untuk keluarganya, “Jika masih ada umur, aku pulang sebulan lagi. Tak boleh ada yang datang menengok atau mengirim keperluan hidupku. Di sini hanya akan ada aku dan Tuhanku.”

Di sanalah Haji Wardan melepas segala laku duniawinya untuk asyik berkomunikasi batin dengan Tuhan. Apa yang dilakukan hanyalah salat dan zikir. Tidur cuma seperlunya. Untuk keperluan hidupnya, dia akan pergi ke sungai, menjelajah hutan untuk memetik buah-buahan liar atau menggali umbi-umbian.

Semua berjalan lancar sampai pada malam yang kesepuluh, saat seekor ular belang tiba-tiba muncul dari balik sajadah ketika dirinya tengah berzikir. Sigap dia meraih sebelah selop. Namun niat untuk memukul kepala tamunya itu urung ketika si ular berteriak, “Jangan!”

Lebih karena terpesona daripada takut, Haji Wardan melepaskan selop dari tangannya dan bertanya takjub, “Kau ini apa?”

“Ular.”

“Ular apakah yang berbicara seperti manusia? Kau pasti iblis yang berniat mengganggu ibadahku!”

“Jangan gegabah. Entah iblis entah siapa, kau tidak boleh seenaknya menuduh hanya dengan prasangkamu.”

Haji Wardan segera beristigfar menyadari kebenaran kata-kata ular itu. Selop di tangan diletakkan kembali. Katanya, “Maaf, mahluk sejenismu telah jadi gambaran sempurna tentang sosok iblis yang kutahu sejak manusia pertama jatuh ke dalam muslihatnya. Jadi, jangan salahkan aku.”

“Lidah ular memang bercabang, itulah yang membuat manusia seenaknya menuduh bangsa ular sebagai mahluk khianat. Tapi bukankah tubuh yang lurus memanjang ini justru adalah sebuah gambaran keesaan Tuhan, jika kau mau menyadarinya?”

Haji Wardan mengangguk. Kejadian ajaib ini pun jelas kehendak Tuhan dan dia tidak berani lancang menanggapi dengan akal manusiawinya yang dangkal.

“Apa maumu? Ini adalah waktuku dengan Tuhan. Gara-gara kau, zikirku terhenti sebelum sampai hitungan keseribu.”

“Aku hanya ingin meminta sedekah darimu.”

“Aku tak punya apa-apa.”

“Dengan mengizinkanku berada di sini untuk menyimak lakumu, itu sudah sedekah. Kau tahu, seluruh mahluk di hutan ini telah turut larut ke dalam salat dan zikirmu. Hewan-hewan, tetumbuhan, bahkan jin-jin. Bagiku sendiri, kau telah memberikan contoh keajaiban kalam Tuhan yang paling nyata. Itulah yang membuatku ingin mendekat padamu. Merasakan pula apa yang kau rasakan sebagai mahluk yang imannya mendekati sempurna.”

Haji Wardan tersenyum lebar. Kata-kata manis itu langsung membuat hatinya berbunga-bunga. Pikirannya telah tertutup ketakjuban tentang betapa hebat kekuatan laku yang tengah dijalankannya hingga seluruh penghuni hutan turut bersalat dan berzikir! Luput disadari olehnya, bahwa saat itu juga sebenarnya kesombongan telah bercecah di jiwa. Tanpa berpikir lagi, dia langsung menyetujui permintaan si ular belang.

Maka sejak malam itu, ular belang yang fasih berbicara dengan bahasa manusia itu selalu datang. Jika Haji Wardan bersalat, ular itu diam melingkar di dekat kakinya. Lalu dia akan merayap, meliuk-liuk menari mengikuti lantunan zikir dengan kepala tegak terangkat bagai berada dalam ekstase. Dan itu berlangsung terus menerus selama beberapa malam. Hingga tepat di malam yang kedua puluh, tidak seperti biasa, ular itu tiba-tiba sudah melingkar di pergelangan kaki kanan Haji Wardan.

“Apa maksudmu?” Haji Wardan yang merasa risi tidak tahan lagi untuk bertanya sehingga zikirnya terhenti.

“Aku semakin larut dan terpesona padamu,” kata ular yang sepertinya tengah mabuk kepayang itu. “Berilah sedekah yang lebih.”

“Sedekah apa lagi?”

“Izinkan aku melingkar di kakimu, cukup di kakimu, agar bisa merasakan getaran tubuh seorang manusia suci ketika berada sangat dekat dengan Tuhan.”

Mendengar itu, lupalah dia pada risinya, justru rasa bangga semakin menjadi-jadi. Permintaan ular belang yang pandai merayu itu langsung dikabulkan tanpa berpikir untung dan rugi lagi. Tidak ada salahnya menambah sedekah, pikir Haji Wardan.

Tapi dia jadi gondok bukan kepalang ketika si ular justru tidak pernah mau pergi sejak saat itu. Melingkar saja dia di pergelangan kaki kanannya seperti parasit malas yang menyebalkan. Bahkan untuk sekadar makan dan minum dia sengaja mengandalkan si pemilik kaki yang terpaksa harus pula membawanya kemana-mana untuk mencari makanan dan menyuapinya. Keadaan itu berlangsung berhari-hari hingga amarah si orang tua yang zuhud itu tidak bisa ditahan lagi.

“Sampai kapan kau akan tetap melingkar di kakiku?”

“Aku tak tahu. Sungguh berat melepaskan apa yang kusenangi,” jawab si ular tanpa perasaan bersalah.

“Tapi keringat, kencing dan berakmu itu najis! Batal lakuku, rusak ibadahku! Jika kau ingin sepertiku, turutlah dengan cara apapun asal tidak mengganggu!”

Si ular membalas, “Dengarlah ceritaku, wahai hamba Tuhan yang pelit! Aku pernah melingkarkan tubuhku di cabang rapuh sebatang pohon tua yang kini telah mati. Meskipun hanya sebatang pohon, dia adalah mahluk yang saleh, ahli ibadah dan hamba Tuhan yang zuhud sesuai cara dan kodratnya. Akarnya yang menancap bumi senantiasa bersyukur menuai sari pati kehidupan yang ditaburkan langit lewat hujan. Batang tubuhnya yang kokoh adalah ketakwaan, sedang dari dedaunannya yang rimbun dan saling bergesekan, tak pernah lekang terdengar nyanyian puja dan puji bagi Sang Maha. Tidak pernah dia merasa terganggu olehku yang turut menikmati laku amalannya walaupun cabangnya itu harus melengkung atau bahkan patah menahan berat tubuhku. Kau tahu kenapa? Karena toh jika jiwa benar-benar menghadap Tuhan, wadak akan mati rasa sehingga tiada gangguan apapun lagi yang bisa membatalkannya.”

“Kau menyamakan kakiku dengan cabang pohon? Dengan benda mati?”

“Karena kakimu memang hanya benda mati! Kenapa kau jadi sangat marah seperti ibadahmu tidak akan diterima Tuhan hanya karena aku melingkar di kakimu yang buruk ini? Apa hebatnya kakimu? Jika keduanya tiada, kau toh masih tetap bisa beribadah karena kau miliki akal budi.”

Haji Wardan yang telanjur murka, lebih-lebih ketika egonya berontak karena merasa digurui oleh seekor binatang licik, mengambil sebelah selopnya dan tanpa ampun memukuli kepala ular belang itu. Ular yang juga marah itu membalas dengan mematuk kakinya lalu melarikan diri.

Satu gigitan saja dan hanya dalam hitungan menit, Haji Wardan ambruk. Tubuhnya menggigil. Kakinya kanannya berangsur-angsur membengkak sebesar betung berwarna biru kehitaman. Bisa ular itu adalah salah satu yang paling mematikan di dunia dan dia sudah berpikir tidak akan bisa melewati malam itu hidup-hidup.

Saat itulah dia merasa sangat ketakutan. Tidak ada siapapun yang akan datang menolongnya. Untuk sekadar berdoa pun dia sudah tidak sanggup lagi karena rasa sakit yang teramat sangat hampir membuat otaknya pecah.

“Ya, Tuhan,” rintihnya berkali-kali. “Aku tidak mau mati seperti ini.”

Malam itu hujan badai melanda, menelan jerit kesakitan dan tangis putus asanya. Haji Wardan yang malang hanya meringkuk menahan penderitaan di atas sajadah yang basah karena air hujan menerobos masuk melalui atap yang jebol.

Entah pingsan entah tertidur, ketika dia membuka mata di pagi hari, badai telah reda menyisakan pondoknya yang rusak. Tapi kejutan yang didapatnya kemudian justru lebih parah daripada mendapati dirinya masih hidup. Ular belang itu telah kembali dan kini melingkar di kaki kirinya!

“Pergilah kau, Iblis!” serunya lemah. Ular itu tertawa.

“Kenapa memaki? Kenapa tidak berterima kasih?”

“Kenapa aku harus berterima kasih pada iblis yang telah mencelakaiku?”

“Tentu saja karena membiarkan kakimu yang sebelah ini tetap utuh. Kau tidak berpikir bagaimana jika kupatuk juga kaki kirimu ini sehingga kau jadi manusia tidak berkaki? Kalau aku mau, sudah kulakukan sejak tadi.”

Haji Wardan terdiam ketakutan.

Ular itu mengejek, “Kudengar kau mengeluh semalaman. Sayang sekali, beberapa hari unjuk keimananmu yang menggetarkan jadi tak berarti hanya karena musibah kecil begini. Kupikir kau orang saleh yang ikhlas dan pasrah. Ternyata kau tidak tahan derita dan lebih parahnya lagi, takut mati.”

Pada saat itulah terdengar suara orang mengucap salam dari luar pondok. Mendengarnya, ular itu segera menyusup di balik kain sarung Haji Wardan, merayap naik hingga ke lutut. Katanya, “Untuk yang satu ini kau pun harus berterima kasih kepadaku. Dia seorang pencari ular yang sengaja kugiring kemari karena aku kasihan padamu. ”

Haji Wardan baru bisa menjawab ketika terdengar salam sekali lagi.

“Bapak tidak apa-apa?” tanya si pencari ular setelah memasuki pondok dan menemukan Haji Wardan tengah terbaring tak berdaya.

“Kau seorang pencari ular, bukan?” tanya Haji Wardan. Tangannya lalu menyingsingkan kain sarung. “Bunuh saja ular ini. Dia iblis. Sebelah kakiku telah dipatuknya dan aku tidak peduli jika dia akan mematuk yang sebelah lagi asal sakit hatiku terbalaskan.”

Pencari ular itu tersenyum.

“Tidak ada ular,” katanya.

“Ada! Lihat luka bekas gigitannya di kakiku, racunnya telah menyebar dan beberapa jam lagi mungkin aku akan mati,” Haji Wardan berkeras.

Si pencari ular segera melihat kaki kanan Haji Wardan.

“Bapak tidak akan mati. Ini bukan gigitan ular. Sepertinya hanya luka kecil akibat terantuk akar pohon atau tertusuk duri. Karena terlalu kotor dan berhari-hari tidak diobati, dia menjadi bengkak dan bernanah.”

Haji Wardan memaksakan bangkit dengan susah payah lalu melucuti sarungnya sendiri sehingga auratnya terbuka. Tidak ditemukannya apa-apa, tapi di dalam tempurung kepalanya terdengar suara ular belang itu tertawa terbahak-bahak.

Cigugur, 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun