Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ular di Kaki Haji Wardan

20 Desember 2015   05:43 Diperbarui: 1 April 2017   09:05 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendengar itu, lupalah dia pada risinya, justru rasa bangga semakin menjadi-jadi. Permintaan ular belang yang pandai merayu itu langsung dikabulkan tanpa berpikir untung dan rugi lagi. Tidak ada salahnya menambah sedekah, pikir Haji Wardan.

Tapi dia jadi gondok bukan kepalang ketika si ular justru tidak pernah mau pergi sejak saat itu. Melingkar saja dia di pergelangan kaki kanannya seperti parasit malas yang menyebalkan. Bahkan untuk sekadar makan dan minum dia sengaja mengandalkan si pemilik kaki yang terpaksa harus pula membawanya kemana-mana untuk mencari makanan dan menyuapinya. Keadaan itu berlangsung berhari-hari hingga amarah si orang tua yang zuhud itu tidak bisa ditahan lagi.

“Sampai kapan kau akan tetap melingkar di kakiku?”

“Aku tak tahu. Sungguh berat melepaskan apa yang kusenangi,” jawab si ular tanpa perasaan bersalah.

“Tapi keringat, kencing dan berakmu itu najis! Batal lakuku, rusak ibadahku! Jika kau ingin sepertiku, turutlah dengan cara apapun asal tidak mengganggu!”

Si ular membalas, “Dengarlah ceritaku, wahai hamba Tuhan yang pelit! Aku pernah melingkarkan tubuhku di cabang rapuh sebatang pohon tua yang kini telah mati. Meskipun hanya sebatang pohon, dia adalah mahluk yang saleh, ahli ibadah dan hamba Tuhan yang zuhud sesuai cara dan kodratnya. Akarnya yang menancap bumi senantiasa bersyukur menuai sari pati kehidupan yang ditaburkan langit lewat hujan. Batang tubuhnya yang kokoh adalah ketakwaan, sedang dari dedaunannya yang rimbun dan saling bergesekan, tak pernah lekang terdengar nyanyian puja dan puji bagi Sang Maha. Tidak pernah dia merasa terganggu olehku yang turut menikmati laku amalannya walaupun cabangnya itu harus melengkung atau bahkan patah menahan berat tubuhku. Kau tahu kenapa? Karena toh jika jiwa benar-benar menghadap Tuhan, wadak akan mati rasa sehingga tiada gangguan apapun lagi yang bisa membatalkannya.”

“Kau menyamakan kakiku dengan cabang pohon? Dengan benda mati?”

“Karena kakimu memang hanya benda mati! Kenapa kau jadi sangat marah seperti ibadahmu tidak akan diterima Tuhan hanya karena aku melingkar di kakimu yang buruk ini? Apa hebatnya kakimu? Jika keduanya tiada, kau toh masih tetap bisa beribadah karena kau miliki akal budi.”

Haji Wardan yang telanjur murka, lebih-lebih ketika egonya berontak karena merasa digurui oleh seekor binatang licik, mengambil sebelah selopnya dan tanpa ampun memukuli kepala ular belang itu. Ular yang juga marah itu membalas dengan mematuk kakinya lalu melarikan diri.

Satu gigitan saja dan hanya dalam hitungan menit, Haji Wardan ambruk. Tubuhnya menggigil. Kakinya kanannya berangsur-angsur membengkak sebesar betung berwarna biru kehitaman. Bisa ular itu adalah salah satu yang paling mematikan di dunia dan dia sudah berpikir tidak akan bisa melewati malam itu hidup-hidup.

Saat itulah dia merasa sangat ketakutan. Tidak ada siapapun yang akan datang menolongnya. Untuk sekadar berdoa pun dia sudah tidak sanggup lagi karena rasa sakit yang teramat sangat hampir membuat otaknya pecah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun