“Ya, Tuhan,” rintihnya berkali-kali. “Aku tidak mau mati seperti ini.”
Malam itu hujan badai melanda, menelan jerit kesakitan dan tangis putus asanya. Haji Wardan yang malang hanya meringkuk menahan penderitaan di atas sajadah yang basah karena air hujan menerobos masuk melalui atap yang jebol.
Entah pingsan entah tertidur, ketika dia membuka mata di pagi hari, badai telah reda menyisakan pondoknya yang rusak. Tapi kejutan yang didapatnya kemudian justru lebih parah daripada mendapati dirinya masih hidup. Ular belang itu telah kembali dan kini melingkar di kaki kirinya!
“Pergilah kau, Iblis!” serunya lemah. Ular itu tertawa.
“Kenapa memaki? Kenapa tidak berterima kasih?”
“Kenapa aku harus berterima kasih pada iblis yang telah mencelakaiku?”
“Tentu saja karena membiarkan kakimu yang sebelah ini tetap utuh. Kau tidak berpikir bagaimana jika kupatuk juga kaki kirimu ini sehingga kau jadi manusia tidak berkaki? Kalau aku mau, sudah kulakukan sejak tadi.”
Haji Wardan terdiam ketakutan.
Ular itu mengejek, “Kudengar kau mengeluh semalaman. Sayang sekali, beberapa hari unjuk keimananmu yang menggetarkan jadi tak berarti hanya karena musibah kecil begini. Kupikir kau orang saleh yang ikhlas dan pasrah. Ternyata kau tidak tahan derita dan lebih parahnya lagi, takut mati.”
Pada saat itulah terdengar suara orang mengucap salam dari luar pondok. Mendengarnya, ular itu segera menyusup di balik kain sarung Haji Wardan, merayap naik hingga ke lutut. Katanya, “Untuk yang satu ini kau pun harus berterima kasih kepadaku. Dia seorang pencari ular yang sengaja kugiring kemari karena aku kasihan padamu. ”
Haji Wardan baru bisa menjawab ketika terdengar salam sekali lagi.