Haji Wardan mengangguk. Kejadian ajaib ini pun jelas kehendak Tuhan dan dia tidak berani lancang menanggapi dengan akal manusiawinya yang dangkal.
“Apa maumu? Ini adalah waktuku dengan Tuhan. Gara-gara kau, zikirku terhenti sebelum sampai hitungan keseribu.”
“Aku hanya ingin meminta sedekah darimu.”
“Aku tak punya apa-apa.”
“Dengan mengizinkanku berada di sini untuk menyimak lakumu, itu sudah sedekah. Kau tahu, seluruh mahluk di hutan ini telah turut larut ke dalam salat dan zikirmu. Hewan-hewan, tetumbuhan, bahkan jin-jin. Bagiku sendiri, kau telah memberikan contoh keajaiban kalam Tuhan yang paling nyata. Itulah yang membuatku ingin mendekat padamu. Merasakan pula apa yang kau rasakan sebagai mahluk yang imannya mendekati sempurna.”
Haji Wardan tersenyum lebar. Kata-kata manis itu langsung membuat hatinya berbunga-bunga. Pikirannya telah tertutup ketakjuban tentang betapa hebat kekuatan laku yang tengah dijalankannya hingga seluruh penghuni hutan turut bersalat dan berzikir! Luput disadari olehnya, bahwa saat itu juga sebenarnya kesombongan telah bercecah di jiwa. Tanpa berpikir lagi, dia langsung menyetujui permintaan si ular belang.
Maka sejak malam itu, ular belang yang fasih berbicara dengan bahasa manusia itu selalu datang. Jika Haji Wardan bersalat, ular itu diam melingkar di dekat kakinya. Lalu dia akan merayap, meliuk-liuk menari mengikuti lantunan zikir dengan kepala tegak terangkat bagai berada dalam ekstase. Dan itu berlangsung terus menerus selama beberapa malam. Hingga tepat di malam yang kedua puluh, tidak seperti biasa, ular itu tiba-tiba sudah melingkar di pergelangan kaki kanan Haji Wardan.
“Apa maksudmu?” Haji Wardan yang merasa risi tidak tahan lagi untuk bertanya sehingga zikirnya terhenti.
“Aku semakin larut dan terpesona padamu,” kata ular yang sepertinya tengah mabuk kepayang itu. “Berilah sedekah yang lebih.”
“Sedekah apa lagi?”
“Izinkan aku melingkar di kakimu, cukup di kakimu, agar bisa merasakan getaran tubuh seorang manusia suci ketika berada sangat dekat dengan Tuhan.”