"Bukan gitu.. eh.. kepingin variasi aja. Kalau foto De' Mar terus-terusan, takutnya nanti Mas malah jadi bosen.. eh.. Â lagian, De' Mar tahu sendiri, Mas kan mengidolai semua presiden kita."
"Gitu, ya? Apa bedanya? Kalau itu dipasang terus bukannya sama, nanti bisa bosen juga sama presiden-presiden idola Mas itu?"
"Jelas beda. Seperti mengoleksi perangko, mengoleksi foto presiden idola juga merupakan hobi membanggakan. Paling tidak, Mas menunjukkan kalau masih punya rasa nasionalisme. Menempelkan foto presiden berarti mencintai presiden. Mencintai presiden pasti otomatis mencintai negara. Namanya mencintai negara, nggak akan ada matinya sampai kiamat. Mana bisa bosen. Begitu, to?"
"Grrr..." Marini menggeram persis babon yang anak-anaknya diganggu. Penjelasan dari Saprudin justru makin membuat darahnya umeb. Jelas sudah, pacarnya itu lebih mengutamakan presiden dan nasionalisme daripada cintanya.
"Nggg..." Saprudin grogi. Salah ngomong, pikirnya.
"Ganti!"
"De' Mar...."
"Ganti foto presidennya!"
"De' Mar sayang..."
"Ganti! Ganti! Gantiiiiiiii...!!!"
"Iya, iya.. Iyaaaa...." ngeri melihat Marini mulai kalap, Saprudin tangkas campur gedabigan menurunkan foto-foto itu dari tembok kamarnya. Lalu mengambil gulungan foto pacarnya dari pojokan dan coba men-jembreng-nya untuk direkatkan lagi dengan selotip pada tembok. Sayang, sepertinya karena kelamaan digulung, setiap di-jembreng, salah satu sisinya akan tergulung lagi. Di-jembreng ke kanan, yang kiri tergulung. Di-jembreng ke kiri, yang kanan nggulung. Mbulet mirip kentut Hansip seperti itu sampai kurang lebih 5 menit dan Marini jadi kehabisan kesabaran. Mendengus, dia berbalik dan pergi sambil membanting pintu kamar Saprudin. Yang lebih menyakitkan bagi Saprudin, sayup-sayup terdengar kata-kata Marini sampai di telinganya, seperti di bawa angin kering musim kemarau yang parau dan sengau.