Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Jangan Ada Presiden di Antara Kita

21 Maret 2012   08:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:40 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_177581" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Jangan Ada Presiden di Antara Kita

Oleh: AK Basuki

Satu hal baru diketahui Marini. Saprudin, pacarnya yang Sarjana Ekonomi dan masih menganggur, ternyata tidak selalu menempelkan foto narsis imut-imut dirinya dalam pose manis sembari memeluk boneka Chucky di tembok kamar, terutama jika dia tidak sedang bertandang. Padahal foto itu telah dicetaknya seukuran baliho kampanye pilkada dan memang dihadiahkan khusus untuk merajai tembok kamar Saprudin. Di tembok kamarnya itu, Saprudin justru lebih suka menempelkan foto-foto presiden. Iya, betul. Semua foto presiden-presiden dari yang pertama sampai yang sekarang, yang masa jabatannya tinggal dua tahun itu. Marini sendiri tidak begitu hapal jumlahnya ada berapa, tapi yang diingatnya, semuanya memakai kopiah kecuali yang ibu-ibu.

Ceritanya, beberapa hari lalu dia sengaja mengadakan sidak ke rumah pacarnya itu. Namanya juga sidak, inspeksi mendadak, tentu saja merupakan satu pergerakan rahasia untuk mengetahui sampai di mana kinerja sang pacar jika di rumahnya. Sudah bisa diduga, Saprudin yang tidak menyangka bakal mendapatkan kunjungan jadi gelagepan dan tidak sempat menurunkan foto presiden-presiden itu untuk diganti dengan foto Marini yang segede kolornya Ultraman.

"Kemana foto cantik Mar yang seukuran baliho incumbent itu?" tanya Marini dengan dingin saat masuk ke kamar Saprudin. Kecewa sekali dia. Ini sama saja melukai hati dan menetesi luka itu dengan kecap pedes lalu mengolesinya dengan bumbu ayam rica-rica. Yang ditanya cengengesan. Mau menjawab takut salah, tidak menjawab salah juga. Bagai makan buah si Mara Karma jadinya. Akhirnya dia hanya menunjuk ke sudut kamar di mana gulungan foto berukuran baliho itu diletakkan. Merana dan terbengkalai seperti mantan-mantannya Ariel Peter Pan.

"Tuh."

"O.. Jadi selama ini, foto itu hanya Mas gulung terus di-gletakna di pojokan gitu?"

"He-eh.. eh, nggak ding.. kan De' Mar tahu sendiri, kalau pas kesini itu foto juga sering nemplek di tembok. De' Mar, sih, mau kesini nggak bilang-bilang Mas dulu. Kalau bilang, kan Mas bisa ganti fotonya dari tadi."

"Kalau ada Mar, itu foto baru dipasang?"

"Eh.. iya, tapi.."

"Jadi lebih penting presiden sama Mar?"

"Bukan gitu.. eh.. kepingin variasi aja. Kalau foto De' Mar terus-terusan, takutnya nanti Mas malah jadi bosen.. eh..  lagian, De' Mar tahu sendiri, Mas kan mengidolai semua presiden kita."

"Gitu, ya? Apa bedanya? Kalau itu dipasang terus bukannya sama, nanti bisa bosen juga sama presiden-presiden idola Mas itu?"

"Jelas beda. Seperti mengoleksi perangko, mengoleksi foto presiden idola juga merupakan hobi membanggakan. Paling tidak, Mas menunjukkan kalau masih punya rasa nasionalisme. Menempelkan foto presiden berarti mencintai presiden. Mencintai presiden pasti otomatis mencintai negara. Namanya mencintai negara, nggak akan ada matinya sampai kiamat. Mana bisa bosen. Begitu, to?"

"Grrr..." Marini menggeram persis babon yang anak-anaknya diganggu. Penjelasan dari Saprudin justru makin membuat darahnya umeb. Jelas sudah, pacarnya itu lebih mengutamakan presiden dan nasionalisme daripada cintanya.

"Nggg..." Saprudin grogi. Salah ngomong, pikirnya.

"Ganti!"

"De' Mar...."

"Ganti foto presidennya!"

"De' Mar sayang..."

"Ganti! Ganti! Gantiiiiiiii...!!!"

"Iya, iya.. Iyaaaa...." ngeri melihat Marini mulai kalap, Saprudin tangkas campur gedabigan menurunkan foto-foto itu dari tembok kamarnya. Lalu mengambil gulungan foto pacarnya dari pojokan dan coba men-jembreng-nya untuk direkatkan lagi dengan selotip pada tembok. Sayang, sepertinya karena kelamaan digulung, setiap di-jembreng, salah satu sisinya akan tergulung lagi. Di-jembreng ke kanan, yang kiri tergulung. Di-jembreng ke kiri, yang kanan nggulung. Mbulet mirip kentut Hansip seperti itu sampai kurang lebih 5 menit dan Marini jadi kehabisan kesabaran. Mendengus, dia berbalik dan pergi sambil membanting pintu kamar Saprudin. Yang lebih menyakitkan bagi Saprudin, sayup-sayup terdengar kata-kata Marini sampai di telinganya, seperti di bawa angin kering musim kemarau yang parau dan sengau.

"Ingat (ngat.. ngat.. ngat..), kalau foto-foto presiden itu (tu.. tu.. tu..), tidak juga diganti (ti.. ti.. ti), kita.. (ta.. ta.. ta..) ..putus ( tuus.. tuus.. tuss..) !" hanya terdengar bergema suaranya.

Saprudin lesu.

*****

Marini sebenarnya masih cinta sekali dengan Saprudin. Kata-kata putusnya waktu itu hanya ungkapan kekesalan dan emosi sesaat. Sekarang dia toh menyesal juga, tapi untuk memperbaikinya dia malu. Dia tidak melarang pacarnya mengidolai siapapun selama yang diidolai itu baik. Mau Lady Ga Ga, boy band Smash, atau Bang Haji Rhoma tidak jadi masalah untuknya. Mengidolai presiden dan para mantan presiden republik ini juga baik. Paling tidak, itu satu bentuk nasionalisme dan menurut Marini itu jauh lebih baik daripada mengidolai orang-orang yang ngakunya nasionalis tapi sama sekali tidak pernah berbuat apa-apa untuk negara ini. Orang-orang seperti itu yang bisanya hanya cari muka, cari sensasi, cari pencitraan diri yang baik, tapi sebenarnya omong kosong. Malahan, dipikirnya selera Saprudin termasuk unik. Mungkin ada orang yang mengidolai salah satu presiden, tapi Saprudin mengidolai semuanya! Dia tidak akan semarah waktu itu kalau saja foto-foto itu tidak ditempelkan di tembok untuk mengganti fotonya. Itu saja yang jadi masalah sebenarnya.

Sekarang Marini merasa sangat rindu, sampai-sampai tidak doyan makan kalau sudah kenyang dan sama sekali tidak mau minum air yang masih mendidih. Dia menyesal karena tidak mau mendengar penjelasan Saprudin. Padahal, kalau saja waktu itu mereka bicarakan baik-baik, tidak akan jadi seperti ini.

Sampai ke puncak rindu dan rasa bersalahnya, diputuskannya saja untuk menelepon Saprudin. Ada sedikit rasa malu dan gengsi, tapi itu disingkirkannya. Lebih baik dia malu daripada tidak tahan menanggung rindu yang seperti ini terus menerus. Hanya, baru saja dia akan menekan tombol di hapenya yang seukuran kotak sabun mandi, hape itu sudah menyala dan ada nama Saprudin muncul. Girang rasa hati Marini. Ternyata mereka memikirkan hal yang sama. Hebat, kan?

Tanpa menunggu hapenya berdering lama, Marini menerima panggilan itu.

"Halo, Assalamu'alaikum," sapanya.

"Wa'alaikum salam," balas Saprudin dari seberang. Lalu diam. Keduanya sama-sama merasa canggung dan tidak tahu harus memulai dari mana.

"Nggg...."

"Nggg...."

"Lho, kok sama?"

"Lho, kok sama?"

"Howesshh trah.."

"Howesshh trah.."

"Ngomong, dong."

"Ngomong, dong."

"Howesshh trah.."

"Howesshh trah.."

Akhirnya mereka tertawa bersama. Merasa lucu karena kata-kata yang mereka ucapkan selalu sama dan berbarengan.

"De' Mar.."

"Hmm..?"

"Maafin Mas, ya,"

"Maaf kenapa?"

"Soal yang waktu itu. Mas tahu De' Mar kecewa, tapi sudah Mas perbaiki, kok. Sekarang di kamar Mas hanya ada fotonya De' Mar, suasananya udah mirip kantor tim sukses incumbent, pokoknya. Khusus untuk memenangkan hati De' Mar seorang."

Marini ngikik kesenengan.

"Bener, nih?"

"Suerr.. wani busung!"

"Terus, foto-foto presiden itu pada kemana?"

"Dimasukkin peti."

"Lho, kok dimasukkin peti? Sayang, kan?"

"Iya, sih. Tapi nggak masalah. Beberapa hari ini Mas terus mikir. Ternyata nggak ada untungnya nemplekna foto-foto idola, apalagi foto-foto presiden selama ini. Toh, mereka nggak balas cinta Mas sama mereka. Bikin sakit hati, iya. Mendingan Mas nemplekna fotonya De' Mar yang sudah jelas insya Alloh, sampai tujuh turunan bakalan cinta terus sama Mas.. hehehe.."

"Gombalnya Mas Udin itu loh, bikin kangen," Marini tersipu-sipu.

"Hah? Kangen? Kalau gitu, Mas kesitu sekarang atau gimana?"

"Nggak usah. Biar Mar yang kesana. Sekalian ngecek apa betul foto cantik Mar udah nemplek di sana."

"Oke. Mas tunggu, ya.."

"Tapi ingat, Mas Udin..."

"Apa?"

"Jangan lagi ada presiden di antara kita."

"Hehehe.. sip!"

Telepon ditutup.

Cigugur, 21 Maret 2012

13323188181071791629
13323188181071791629

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun