Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bakar!

8 Desember 2011   09:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:41 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bakar!

Oleh: AK Basuki

Semua orang tahu Sagrip adalah seorang yang sangat payah. Pemarah, pemabuk, pengacau dan pembuat onar di lingkungan adalah trademark yang disandangnya. Sudah begitu, dengan perasaan anak dan istrinya dia tidak terlalu peduli. Makanya sah-sah saja jika istri dan anaknya itu sudah hampir tiga bulan tidak lagi ada di rumah karena kelakuannya yang tidak pernah berubah. Sang istri membawa anak satu-satunya ke rumah orangtuanya di desa tetangga dengan persyaratan akan kembali jika Sagrip sudah jadi insan yang lebih baik.

Sagrip masa bodoh. Walaupun sebenarnya dia masih sangat sayang dengan istrinya, terlebih-lebih dengan anaknya yang sudah kelas 1 Sekolah Dasar itu, tapi untuk urusan harga diri dia pantang mengalah. Suami adalah Imam dalam keluarga. Jika istri dan anaknya mbalelo, berarti merekalah yang murtad, bukan dirinya. Bisa ditebak, dengan memberi peringatan yang tidaklah luar biasa dan sangat umum dilakukan para perempuan, istri Sagrip jelas membuat satu blunder karena orang ndablek seperti Sagrip tidak akan kalis dengan hanya di gosok shock therapy yang kuno seperti itu.

Dia masih tetap nongkrong tiap malam di Pos Ronda RT 31 yang terbengkalai tak berfungsi dan sudah dipatenkan jadi beskem bersama teman-temannya. Gitaran, keplek, mabuk-mabukan dan pulangnya adu cepat dengan azan subuh. Kadang jika nanggung, ya terkapar di sana sampai anak-anak TK Aisyiah yang usil-usil lewat sepulang sekolah dan melempari mereka dengan kerikil.

Kalau istri Sagrip saja gerah dengan kelakuannya, tentu saja warga lingkungannya boleh gerah juga. Maka suatu hari, Pak RT atas mandat Pak Lurah mengumpulkan semua warga dan membicarakan masalah itu. Satu keputusan bulat dihasilkan: rubuhkan Pos Ronda dan dengan memakai dana aspirasi rakyat yang kebetulan akan diberikan oleh Pemda dengan proposal yang ditandatangani oleh Pak Lurah dan Pak Camat, lahan tempat Pos Ronda itu berdiri yang masih cukup luas akan dibuat lahan hijau sekaligus taman bermain untuk anak-anak.

Sagrip yang tidak diundang dalam pertemuan RT dan hanya mendengar selentingan saja tentang pembahasan Pos Ronda itu langsung murka. Didatanginya rumah Pak RT beberapa malam kemudian, berteriak-teriak dari luar pagar memintanya keluar.

"Apa lagi ini?" tanya Pak RT gusar. Sudah diperkirakannya akan begini dan dia sudah siap. Sarung yang dipakainya sudah dilepas dan diikatkannya ke pinggang. Persis pendekar.

"Saya mau menggugat!" teriak Sagrip emosi.

"Silaken. Apa yang mau digugat?"

"Masalah pertemuan kemarin. Kenapa Pos Ronda mau dirubuhkan? Memangnya itu rumah jin? Sebagai bukan jin yang sering nongkrong di situ, saya keberatan!"

"Tempat itu sudah tidak berfungsi sewajarnya lagi, Grip. Malah dijadiken tempat berkumpul dan bermaksiat. Bukankah akan lebih baik kalau dijadiken sesuatu yang bisa benar-benar dinikmati oleh warga?"

"Tapi bukankah orang-orang yang nongkrong di situ bermaksud sekalian meronda? Apa ada laporan kecurian selama ini? Tidak, to? Aman-aman saja."

Jelas saja, kata Pak RT dalam hati, lha wong malingnya pada ngumpul di situ semua. Mana sempat mencuri? Tidak mencuri, melainken mabuk. Sama saja bejatnya.

"Saya tidak setuju, Pak RT! Pokoknya dana aspirasi atau apalah namanya itu saya tolak jika untuk membangun sesuatu yang tidak berguna!"

"Terserah. Memangnya siapa kamu, kok nolak-nolak segala. Dana aspirasi itu memang diserahken pada warga, dapat digunakan untuk apa saja bergantung kepada keputusan warga. Dan keputusan warga sudah bulet. Pak Lurah juga sudah setuju. Tinggal teken proposal yang kita bikin, Pak Camat teken, Pak Bupati teken, dana turun, paling cepet dalam dua minggu sudah mulai penggusuran Pos Ronda dan pembangunan taman!"

Gemeletuk gigi Sagrip seperti kuda lumping mengunyah beling.

"Saya mau menggugat ke rumah Pak Lurah!"

"Lha, sudah malam begini. Situ ndak lagi mabuk to, Grip?" tanya Pak RT. Sagrip mendengus sebelum berbalik dan berlari pulang. Tidak dilihatnya Pak RT yang menyeka keringat di dahinya penuh kelegaan. Untung saja Sagrip tidak berniat mengajak konfrontasi lebih jauh. Bisa-bisa ada korban jiwa, minimal badan pada bengkak biru-biru. Masalah sekarang dia mau nglurug ke rumah Pak Lurah ya silaken.

Malam itu juga, dengan menenteng jeriken, Sagrip mengajak teman semabuknya, Margono, menuju ke rumah Pak Lurah.

"Apa isinya, Bro?"tanya Margono, berharap isi jeriken adalah ciu lawaran atau malah satu jenis minuman keras model baru yang bisa dinikmati malam ini.

"Bensin," jawab Sagrip.

"Buat apa, Bro?"

"Buat mbakar kolormu!"

"Eit..jangan! Tidak elok, tidak elok..bisa dimarahin Mama!" kata Margono menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan wajah.

"Kita ke rumah Pak Lurah!"

"Pak Lurah nyuruh kamu beli bensin, Bro?"

"Bukan. Aku mau aksi bakar diri!"

"Lha? Kenapa, Bro? Frustrasi?"

"Pos Ronda mau dirubuhkan dan diganti jadi taman hijau. Di mana kita ngumpul nanti?"

"O..kalau itu aku sudah dengar, Bro. Aneh, ya? Yang ndak penting diutek-utek sampe butek. Yang penting-penting dan mendesak dibiarin," kata Margono geleng-geleng.

"Maksudmu?"

"Lha, Pos Ronda dirubuhin. Buang-buang tenaga. Dengar-dengar ada dana aspirasi, tapi kok malah mau bikin taman. Ndak penting, kan? Mendingan buat perbaiki sekolah-sekolah di desa ini yang hampir ambruk."

Sagrip menghentikan langkahnya. Kata-kata Margono biarpun dikeluarkan oleh orang yang otaknya 'setrip' karena kebanyakan mabuk, terasa seperti menyalakan lampu merkuri di kepalanya. Tiba-tiba dia ingat anaknya, Teguh, yang biasa dipanggil Themel karena tubuhnya yang montok, bapuh dan lembut kaya adonan donat jika dicubit. Themel bercerita bahwa ruang kelasnya hampir ambruk dan kepalanya sering kejatuhan serpihan-serpihan kayu usuk yang keropos dari lubang-lubang eternit. Mulut yang cerewet itu pasti menguncup jika bercerita dan kini mendengar kata-kata Margono, secara ma'jleger ingatannya melayang dan membuatnya rindu bercampur khawatir. Bagaimana jika atap kelas Themel benar-benar rubuh dan menimpanya?

Sagrip menggigil lalu mempercepat langkahnya.

Di depan rumah Pak Lurah, Sagrip langsung duduk bersila dan menyuruh Margono berteriak-teriak memanggil si empunya rumah. Teman semabuknya yang setia itu tanpa malu-malu patuh saja. Bahkan sampai Pak Lurah keluar dia masih saja berteriak-teriak memanggil Pak Lurah.

"Ya, saya sudah dengar!" teriak Pak Lurah, tergopoh-gopoh dia keluar dengan hanya berkaus singlet dan bersarung. Bu Lurah mengejar di belakangnya lalu memakaikan kemeja dengan tergesa-gesa pula. Orang-orang sekitar yang mendengar ribut-ribut teriakan Margono berdatangan, tapi semua disuruh mundur oleh Sagrip. Pak Lurah mengernyitkan dahi melihat Sagrip yang dengan gagah membuka tutup jeriken lalu mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.

"Siapa itu?" tanya Pak Lurah.

"Margono, Pak!" sahut Margono dengan posisi tegak seperti sedang baris di upacara bendera.

"Bukan kamu. Itu yang bawa-bawa kerijen!"

"Jeriken, Pak! Bukan kerijen. Itu Sagrip. Katanya mau membakar diri untuk menggolkan tuntutannya. Laporan selesai!" jawab Margono.

Pak Lurah manggut-manggut. Pandangannya berkeliling. Banyak orang sudah berkumpul ingin melihat keributan yang terjadi. Malam-malam begini mereka dijadikan tontonan. Asu tenan.

"Apa maksudmu mau bunuh diri?" tanya Pak Lurah hati-hati. Orang seperti ini bisa nekat, karena itu harus dihadapi dengan kelembutan. Pak Lurah tidak mau halaman rumahnya ternoda dengan kematian seekor coro pun.

"Tuanku, Baginda Pak Lurah," kata Sagrip, "Sebagai warga desa yang baik saya hendak menggugat keputusan warga RT saya untuk merubuhkan Pos Ronda dan membuat taman sebagai gantinya."

"Kenapa bisa begitu? Bukankah itu tindakan yang baik daripada membiarkan Pos Ronda itu jadi sarang maksiat?"

"Saya menggugat pembuatan taman itu!"

"Kalau gugatan kamu ndak dituruti memangnya mau apa?"

Dengan tenang Sagrip mengangkat jeriken dan menyiram kepalanya. Pemantik di tangan kirinya dicetrek-cetrek.

"Bakar diri!" teriaknya.

Orang-orang yang mulai bertambah banyak berkerumun di halaman rumah yang luas tetapi tak berpagar itu hampir semua mengeluarkan seruan tertahan. Dan tanpa sadar mereka semua mundur beberapa langkah menjauh.

Pak Lurah gelagapan. Tidak disangkanya Sagrip bakal nekat begitu.

"He, jangan begitu! Semua bisa dibicarakan!" seru Pak Lurah khawatir.

"Karena itu dengarkan tuntutan saya," kata Sagrip santai dan mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Halah, dia malah mengambil rokok yang lecek terlipat karena dia duduk bersila, sedikit basah pula. Tapi dengan tenang dia menyalakannya lalu merokok klepas-klepus. Margono terpesona. Dalam hati dia memuji wibawa dan ketenangan Sagrip malam itu.

"Apa tuntutannya?"

"Sebenarnya tidak masalah Pos Ronda dirobohkan. Toh saya dan teman-teman masih bisa ngumpul-ngumpul mabuk di pinggir sawah atau giliran setiap hari di rumah masing-masing seperti arisan, tapi yang baru muncul dalam pikiran saya setelah dalam perjalanan kesini mendengar kata-kata sahabat saya Margono itu, Pak, kenapa dana aspirasi itu justru untuk membuat taman?"

"Lha seharusnya?"

"Kenapa ndak buat memperbaiki bangunan-bangunan sekolah di desa ini saja? Saya terus terang jadi ingat dengan Themel, Pak. Dia cerita kalau kepalanya sering kejatuhan serpihan kayu dari usuk yang keropos di kelasnya. Bayangkan jika yang jatuh balok kayu yang besar atau malah seluruh atapnya runtuh beserta tembok-tembok dan gentingnya. Jadi apa si Themel itu?"

Orang-orang yang hadir nggremeng. Sebagian besar membenarkan pendapat Sagrip. Anak-anak mereka juga sama, banyak yang sekolahnya sama dengan sekolah Themel dan pastinya pernah mendengar cerita yang serupa.

"Sudah ada bagiannya sendiri-sendiri, Grip," kata Pak Lurah.

"Di mana bagian untuk perbaikan sekolahnya, Pak? Kok masih pada rusak? Kalau hujan, bocor. Kalau angin, gentingnya pada terbang. Ndak ada angin, ndak ada hujan, tembok pembatas bisa rubuh sendiri. Bagaimana anak-anak bisa belajar dengan tenang?"

Jiangkrik, pikir Sagrip. Kok dia bisa bicara begitu, ya?

"Sebenarnya sudah ada wacana untuk itu dan akan direalisasikan," kata Pak Lurah.

"Kita butuh bukti, Pak!" kata Sagrip kesal dan sekali lagi menyiram kepalanya setelah rokoknya dia buang. Orang-orang mundur lagi, tidak ada yang berani mecegah. Pak Lurah panik.

"Baiklah!" serunya.

"Baik apa, Pak?" tanya Sagrip masih mencetrek-cetrek pemantiknya.

"Nanti saya sampaikan ke atas!"

"Atas mana, Pak?"

"Ya..itu..atas, pokoknya."

"Halah," kata Sagrip mencibir dan menyiram kepalanya lagi. Pak Lurah makin ngeri.

"Stop! Stop! Baik, kita akan prioritaskan dana aspirasi untuk memperbaiki sekolah-sekolah di desa kita biarpun dana itu tidak dimaksudkan untuk memperbaiki bangunan sekolah!" teriaknya masih panik.

"Para hadirin semua dengar?" tanya Sagrip pada orang-orang.

"Dengaaaarrr..!!!" jawab semua orang termasuk Margono yang langsung melonjak-lonjak girang walaupun dia masih bingung dengan perubahan niat Sagrip.

"Saudara-saudara semua mendengar, bukan? Kita akan sama-sama menagih janji Pak Lurah jika dia sampai ingkar! Kita semua jadi saksi, betuuull..?"

"Betuuulll..!" jawab orang-orang makin antusias.

"Janji, Pak Lurah. Semua orang melihat, loh."

"Janji!" kata Pak Lurah tegas, tapi wajahnya jadi pucat ketika dilihatnya Sagrip menyiram kepalanya dengan isi jeriken yang penghabisan.

"He, tuntutanmu kan sudah dipenuhi! Jangan bunuh diri di sini!" teriak Pak Lurah.

"Siapa yang mau bunuh diri?"

"Lha itu, kepalanya disiram lagi."

"Halah, Pak Lurah ini bodoh atau pura-pura pinter, sih? Masa dari tadi ndak sadar kalau ini bukan bensin. Ndak kecium baunya, to?"

Mulut Pak Lurah menganga.

"Berarti dari tadi bukan bensin atau minyak, gitu?"

"Bukan. Itu air buat saya cuci muka. Saya harus kelihatan seger karena habis ini saya mau ke desa tetangga, ke tempat mertua njemput Themel sama ibunya. Udah kangen berat!" kata Sagrip cengengesan. Dia memang jadi sangat rindu kepada istri dan anaknya.

Dengan riang dia lalu menyerahkan jeriken miliknya pada Margono dan melenggang pergi dengan bersiul-siul. Margono cekikikan. Malam ini memang Sagrip sedang sadar dan betul otaknya. Besok? Entahlah. Namanya juga Sagrip.

Cigugur, 8 Desember 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun