"Kenapa bisa begitu? Bukankah itu tindakan yang baik daripada membiarkan Pos Ronda itu jadi sarang maksiat?"
"Saya menggugat pembuatan taman itu!"
"Kalau gugatan kamu ndak dituruti memangnya mau apa?"
Dengan tenang Sagrip mengangkat jeriken dan menyiram kepalanya. Pemantik di tangan kirinya dicetrek-cetrek.
"Bakar diri!" teriaknya.
Orang-orang yang mulai bertambah banyak berkerumun di halaman rumah yang luas tetapi tak berpagar itu hampir semua mengeluarkan seruan tertahan. Dan tanpa sadar mereka semua mundur beberapa langkah menjauh.
Pak Lurah gelagapan. Tidak disangkanya Sagrip bakal nekat begitu.
"He, jangan begitu! Semua bisa dibicarakan!" seru Pak Lurah khawatir.
"Karena itu dengarkan tuntutan saya," kata Sagrip santai dan mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Halah, dia malah mengambil rokok yang lecek terlipat karena dia duduk bersila, sedikit basah pula. Tapi dengan tenang dia menyalakannya lalu merokok klepas-klepus. Margono terpesona. Dalam hati dia memuji wibawa dan ketenangan Sagrip malam itu.
"Apa tuntutannya?"
"Sebenarnya tidak masalah Pos Ronda dirobohkan. Toh saya dan teman-teman masih bisa ngumpul-ngumpul mabuk di pinggir sawah atau giliran setiap hari di rumah masing-masing seperti arisan, tapi yang baru muncul dalam pikiran saya setelah dalam perjalanan kesini mendengar kata-kata sahabat saya Margono itu, Pak, kenapa dana aspirasi itu justru untuk membuat taman?"