Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rasa Maut Dalam Maut

24 Januari 2011   09:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:14 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terbangun seperti dikejutkan oleh sengatan listrik tegangan tinggi hanya untuk berada dalam kebingungan. Benarkah telah kubuka kedua pelupuk mataku dan hanya gelap semata? Atau memang keduanya masih tertutup? Ataukah lagi, aku telah menjadi buta? Sungguh, gelap semata dalam balutan dingin yang mencekam.

Kucoba menggerakkan tubuhku, aku tak mampu, mereka rupanya telah mengikatku, jahanam-jahanam laknat itu! Mereka membawa dan mengikatku sebelum menjebloskanku ke tempat yang tak benar-benar kutahu ini. Mereka pasti akan menyiksa dulu tubuhku hingga hancur untuk kemudian membunuhku pada akhirnya.

Mataku mengerjap-ngerjap mencoba membiasakannya dengan kegelapan ini sambil mencoba berguling ke sisi kiriku, tak mampu. Sialan! Apa yang mereka mau sebenarnya?

Mereka telah mendatangiku, orang-orang bertubuh kekar dan bertampang sangar, tiga orang dan salah satunya langsung menudingku sementara yang lainnya mengepung kanan dan kiriku.

"Kau pembela orang-orang yang katanya teraniaya itu, bukan?"

"Ada apa ini?"

Aku tak memperdulikan pertanyaannya yang menuding itu dan balik bertanya dengan gentar.

"Marilah, ikut kami," katanya santai sambil mengeluarkan pisau belati dari balik bajunya. Dua yang lain seperti dikomando, memegangi kedua lengan kanan dan kiriku.

"Apa-apaan ini?" tanyaku panik dan mencoba berontak, tapi pemberontakanku kemudian diredam oleh cengkeraman yang kokoh di kedua lenganku serta dinginnya bilah tajam belati yang menempel di leherku.

"Jangan banyak tanya!" sentak orang yang memegang belati lalu bersama-sama nereka menggiringku ke sebuah mobil yang berhenti tidak jauh dari sana. Aku pasrah dan menurut dengan keringat dingin yang mulai meretas keluar dari pori-poriku dan jantung yang seperti hampir pecah memompa. Di mobil itu, dua orang telah menunggu.

"Wah," kata seorang yang duduk di samping pengemudi, "pembela orang-orang teraniaya sudi mampir ke dalam mobil kita."

Aku diam saja karena ketegangan yang parah seperti membungkam suaraku. Aku mereka dudukkan di tengah, diapit oleh dua orang pencengkeram lenganku sementara si pembawa belati duduk paling belakang.

"Masih belum puas juga, eh?" tanya orang di samping pengemudi itu tanpa menengok ke belakang saat mobil mulai berjalan.

"Apa maksudmu?" terlontar juga pertanyaan yang takut dari bibirku.

"Pura-pura bodoh!" bentak orang itu dan tubuhnya berbalik ke belakang, "kau sudah dapat uang dari kami, masih juga mengusik. Bukankah orang-orang itu kau janjikan tidak akan menuntut apa-apa lagi dari kami dan kaupun tak akan lagi berkoar-koar memperjuangkan mereka?!"

"Jangan..jangan salah mengerti, Bung," sahutku tergagap, "aku telah mengatakan pada mereka bahwa perlawanan akan sia-sia dan aku sudah menarik diri dari urusan mereka."

"Munafik!"

Dia membentak marah dan aku gemetar ketakutan.

"Kau orang paling munafik yang pernah aku tahu. Kau menerima uang dari mereka untuk memperjuangkan tuntutan mereka terhadap kami, tapi kaupun kemudian menerima uang dari kami untuk menghentikan mereka. Nyatanya, tuntutan mereka masih nyaring terdengar dan membahayakan posisi kami!"

"Aku mohon maaf..maaf..itu di luar kemampuanku. Mereka memang kuhimbau untuk tidak meneruskan semua, tapi kemudian mereka meminta bantuan lagi kepada pihak lain."

"Dan merekalah yang menyerang kami, begitu?"

Aku mengangguk-angguk seperti burung pelatuk yang mematuki batang pohon.

"Baiklah," katanya kemudian, "dua kali bekerja bagi kami tak masalah. Setelah selesai denganmu, kami akan berurusan dengan pihak lain yang kau sebut itu. Yang penting orang-orang sepertimu yang sejatinya sama kotornya dengan perampas hak seperti kami dan mengatasnamakan pembela orang-orang teraniaya untuk mendapatkan keuntungan yang besar untuk diri sendiri  lenyap dari muka bumi!"

Aku terkesiap. Sekilas terbayang segala kekotoran dan kemunafikan hidupku, tapi sepertinya terlambat. Maut membayang.

*****

Dalam kegelapan itu, lamat-lamat kudengar suara orang bercakap-cakap, entah dari mana asalnya. Semangatku membuncah, meruah seperti air sungai yang meluap di musim hujan yang parah.

"Hei!" teriakku, "siapa di sana?! Tolong!"

Suaraku menggema seperti dalam sebuah goa yang panjang.

"Hei! Tolong!"

Aku mencoba berontak dalam keterikatanku, tak mampu. Sekedar berguling pun sulit. Akhirnya aku mencoba untuk diam dan tenang karena kepanikanku justru tidak akan menolongku. Aku mencoba mendengarkan mereka dan akan mencoba menyela di titik diam pembicaraan mereka.

"...separuh saja..lagi...sungguh sayang," kudengar lamat-lamat seseorang walaupun tidak begitu jelas dan terputus-putus dalam pendengaranku, beberapa kata telah cukup karena telingaku akan makin terbiasa nantinya.

"Ya," terdengar yang lain menanggapi, "suara-suara orang teraniaya dan tertindas akan terdiam seterusnya."

"Sudahlah," terdengar lagi seseorang, entah yang pertama entah bukan, "jangan berlama-lama lagi, pertanyaan-pertanyaan untuknya pasti akan segera diajukan."

Lalu terdengar langkah-langkah kaki mereka menjauh. Aku panik. Merekalah harapanku satu-satunya untuk keluar dari tempat ini, siapapun mereka itu.

"Hei! Jangan pergi! Ada orang di sini! Tolong!"

Aku berteriak sejadi-jadinya karena kegelapan ini semakin menakutkan buatku. Kesempatan mendengar suara orang seperti tadi dan berharap untuk mendapatkan pertolongan dalam bayanganku belum tentu akan datang kembali.

Tiba-tiba cahaya mengarah dari atas seperti memang dibidikkan ke arahku. Terkejut dengan kejutan itu, mataku mengerjap-ngerjap sebentar mencoba menyesuaikan terang dari gelap, kemudian susah payah kugulingkan tubuhku ke sisi kiri justru karena keterkejutanku itu, berhasil, kali ini aku sanggup untuk telentang dan mataku yang telah terbiasa itu kemudian menangkap sesosok bayangan tubuh yang tak kukenali berdiri di hadapanku.

Dia mengucapkan salam.

Aku tak membalasnya justru karena aku tak mampu menjawab dan justru di saat yang sama itulah aku menyadari siapa sebenarnya bayangan hitam yang kini berdiri di hadapanku. Aku terpesona dalam tegang dan takjub.

"Man Rabbuka?" tanyanya dengan suara berat yang dalam.

Tubuhku yang terikat dan terbungkus kain putih menggigil.

Cigugur, 23 Januari 2010

Gambar dari: http://sunxi.free.fr/projects/screensavers/particle/maskbig.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun