"Wah," kata seorang yang duduk di samping pengemudi, "pembela orang-orang teraniaya sudi mampir ke dalam mobil kita."
Aku diam saja karena ketegangan yang parah seperti membungkam suaraku. Aku mereka dudukkan di tengah, diapit oleh dua orang pencengkeram lenganku sementara si pembawa belati duduk paling belakang.
"Masih belum puas juga, eh?" tanya orang di samping pengemudi itu tanpa menengok ke belakang saat mobil mulai berjalan.
"Apa maksudmu?" terlontar juga pertanyaan yang takut dari bibirku.
"Pura-pura bodoh!" bentak orang itu dan tubuhnya berbalik ke belakang, "kau sudah dapat uang dari kami, masih juga mengusik. Bukankah orang-orang itu kau janjikan tidak akan menuntut apa-apa lagi dari kami dan kaupun tak akan lagi berkoar-koar memperjuangkan mereka?!"
"Jangan..jangan salah mengerti, Bung," sahutku tergagap, "aku telah mengatakan pada mereka bahwa perlawanan akan sia-sia dan aku sudah menarik diri dari urusan mereka."
"Munafik!"
Dia membentak marah dan aku gemetar ketakutan.
"Kau orang paling munafik yang pernah aku tahu. Kau menerima uang dari mereka untuk memperjuangkan tuntutan mereka terhadap kami, tapi kaupun kemudian menerima uang dari kami untuk menghentikan mereka. Nyatanya, tuntutan mereka masih nyaring terdengar dan membahayakan posisi kami!"
"Aku mohon maaf..maaf..itu di luar kemampuanku. Mereka memang kuhimbau untuk tidak meneruskan semua, tapi kemudian mereka meminta bantuan lagi kepada pihak lain."
"Dan merekalah yang menyerang kami, begitu?"