Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Duel! Uel! El! L!

14 Januari 2011   09:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Baiklah, Om akan membaiat Mamar untuk pertama kali," katanya lagi lalu mengeluarkan tiga lembar lima ribu-an dari dalam dompetnya, lalu: "ini untuk kalian. sementara menunggu kalian boleh jajan dulu."

Dhani, Arif dan Naim dengan girang menerima pemberian itu. Tidak jadi yang pertama tidak apa-apa, yang penting mereka bisa jajan sambil menunggu. Mamar pun sepertinya menerima jumlah yang sama.

"Ayo, Mamar..kita tidak melakukan baiat itu di sini, tapi di suatu tempat yang tersembunyi. Tempat ini tidak cukup tersembunyi walaupun selalu sepi."

Tanpa berkata-kata lagi, Mamar mengikuti calon gurunya itu dengan patuh. Mereka berjalan beriringan menuju tempat baiat itu, sementara yang lain langsung berlari menuju warung  terdekat untuk mencari jajanan dan akan kembali menunggu ditempat itu sambil menikmati jajanan.

Di tengah cahaya yang mulai suram karena telah menjelang senja, Om Aris dan Mamar berjalan berdua menjauhi tempat itu, masuk semakin dalam ke arah hutan di dekat lahan kosong dengan pohon-pohon mirah yang menjulang di mana mereka berada sebelumnya. Samaa-samar, Om Aris teringat kembali dengan peristiwa itu, peristiwa yang membuatnya terpaksa harus menyingkirkan diri dari kampung yang sangat dicintainya.

Seorang muridnya tiba-tiba melawannya dan menolak untuk dikerjainya seperti biasanya. Fia tak mengerti, kemapa bisa begitu. Tambah dipaksa, tambah keras anak itu menolaknya, padahal sebelumnya tidak pernah ada yang menolak hasratnya, semua murid laki-lakinya yang jumlahnya 17 orang itu dan berusia rata-rata di bawah 15 tahun. Saat itu, murid yang paling disenanginya itu benar-benar menolaknya dan menangis meraung-raung. Emosi dan gelap mata karena dorongan napsunya yang tidak tertahankan itu tidak menemui pelampiasan, dicekiknya anak itu sampai mati.

Setelah sadar bahwa dia membuat satu kesalahan yang fatal, malam itu juga dia melarikan diri dari kampungnya sendiri, menghindarkan diri dari amuk massa yang dibayangkannya akan terjadi jika mayat anak yang lalu disembunyikannya di bawah rumpun pohon bambu dan ditutupinya dengan daun-daun kering itu ditemukan.

Dia menghela napas memandangi Mamar yang kini berjalan di depannya. Memperhatikan anak-anak itu bermain membuat keinginannya yang lama tak tersalur kembali bangkit. Untung saja mereka berminat besar dengan ilmu silat, pikirnya.

Dalam cahaya yang makin remang itu mereka berjalan terus. Sesekali pandangan Om Aris, guru silat yang cabul itu menimpa pantat Mamar yang berjalan di depannya.

Mantap, desisnya.

Cigugur, 14 Januari 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun