Keduanya kini kembali memperbaiki posisi dan berhadap-hadapan. Dalam hati mereka sama-sama mengakui kemampuan masing-masing dan justru menjadi semakin berhati-hati dalam melakukan serangan-serangan berikutnya.
Kali ini Arif yang memulai serangan. Dengan garang dia meloncat dan melepaskan tendangan yang liar dan mengarah kepala Dhani. Dhani menyadari serangan yang sangat berbahaya itu, tapi karena begitu cepatnya tendangan itu, dia tidak sempat untuk menghindar dan hanya meyilangkan kedua tangannya di depan wajahnya dan membuat dorongan arah dada ke atas untuk menghalau serangan itu dan meredam efek tumbuknya. Arif memutar badannya dan kembali melakukan serangan dengan tendangan melingkar, Dhani pun masih bisa menangkisnya dengan tangan kanan. Benturan betis Arif dan lengan Dhani itu membuat masing-masing bergetar dan goyah dalam posisi masing-masing.
Setelah beberapa serangan yang sepertinya hanya sebuah penjajagan dulu untuk saling mengenal kekuatan masing-masing itu, mereka akhirnya benar-benar terlibat dalam suatu pertarungan yang seru. Saling bertukar serangan, pukulan, tendangan, sabetan, sapuan bahkan bantingan membuat pertarungan untuk memperebutkan cinta Reni itu makin panas dan mendebarkan sementara di sisi arena pertarungan mereka, Reni, perempuan yang mereka sedang usahakan cintanya itu masih berdiri dengan tegang dan cemas.
"Tolong pisahkan mereka, Naim..Mamar..kita semua bersahabat, kenapa jadi begini?"
Mamar dan Naim hanya diam saja, masih memperhatikan pertarungan itu dengan seksama, berjaga-jaga jika ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Dan sebenarnyalah itu terjadi tidak berapa lama kemudian. Dua orang lelaki jantan yang memperebutkan cinta seorang perempuan itu, yang sudah mulai kelelahan dan sakit-sakit pada tubuhnya karena beberapa pukulan yang sempat saling mengena tiba-tiba seperti sepakat mengeluarkan belati dari saku celana masing-masing.
Reni menjerit, begitu pula Mamar dan Naim. Mereka tidak menyangka akan hal itu. Di pikiran mereka, pertarungan itu hanya akan menjadi pertarungan tangan kosong yang tidak akan beresiko dengan nyawa. Secepatnya mereka menerkam dan merangkul dua petarung yang tengah memuncak emosinya itu. Naim merangkul Dhani, mencoba untuk mencegah pertarungan itu berlanjut, demikian pula Mamar yang merangkul Arif. Tapi Arif yang sudah seperti kesetanan itu, kesetanan karena nyeri pada tubuhnya dan rasa lelah yang menjadi-jadi itu segera melepaskan diri dan mendorong Mamar hingga jatuh dan lalu berlari ke arah Naim dan Dhani sembari langsung menusukkan belati itu ke perut Dhani. Dhani tidak bisa mengelak justru karena Naim tengah merangkulnya dengan erat dan mencoba merampas belatinya sehingga gerakannya menjadi sulit, tertahan dan terbatas.
Dhani roboh seperti pohon pisang yang ditebang dalam sekali tebasan, membawa tubuh Naim turut jatuh pula bersamanya. Reni menjerit dan menutup mata dengan kedua tangannya. Mamar yang terjatuh karena dorongan Arif hanya bisa menganga tanpa bisa berbuat apapun. Arif yang gelap mata hanya berdiri memandangi lawan bertarungnya yang rebah di samping Naim yang kebingungan, belati masih di tangannya namun sesaat kemudian dilemparkannya belati itu ke tanah.
"Nggak gitu, Dhani!" kata Arif, wajahnya kelihatan kesal, "harusnya kamu nggak langsung jatuh. Kamu melotot dulu trus bilang: kau..kau...gitu."
Reni membuka matanya yang ditutupnya tadi dan menambahi:
"Iya..harusnya pake melotot dulu trus nunjuk-nunjuk si Arif, baru jatuh."
Dhani dan Naim pun lalu bangkit. Dhani melemparkan sebatang ranting yang dipakainya sebagai belati seperti juga yang dilakukan Arif ke tanah. Mamar juga bangkit sambil mengelap ingusnya yang kadang masih keluar sendiri dari lubang hidungnya. Mereka lalu berkumpul dalam satu lingkaran di arena pertarungan tadi dan membahas permainan mereka, meniru film-film aksi di televisi.