Anak-anak melihat orang baru yang biasa mereka panggil Om Aris itu mendekati mereka sambil tersenyum-senyum ramah. Dhani, Arif, Mamar dan Naim menjadi berbunga-bunga dengan pujian itu sementara Reni hanya menundukkan kepala, entah apa dalam pikirannya.
"Kalian mau belajar silat?" tanya Om Aris itu kemudian.
Anak-anak itu, kecuali Reni, meringis dan salah satu dari mereka, Arif, menjawab:
"Mau, Om. Tapi nggak punya duit untuk masuk perguruan silat."
Om Aris mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak tahu, dia adalah guru silat terhormat di kampungnya dulu.
"Belajar sama Om saja, mau?"
"Om, bisa silat kaya Pitung?" tanya Mamar sambil mengelap ingusnya.
"Bukan hanya Si Pitung, Si Rawing kalo ada juga masih bisa kalah sama Om."
Anak-anak itu lalu saling berbicara sendiri satu sama lain yang intinya percaya dan tidak percaya dengan perkataan Om Aris itu. Om Aris pun mengerti, untuk bisa mengambil hati mereka agar mau untuk menjadi muridnya, akhirnya dia mengalah dan akan memberi beberapa gerakan sebagai bukti kebenaran kata-katanya tadi.
"Baiklah, mungkin kalian ingin bukti. Lihat ini." katanya, lalu dengan gerakan yang tangkas, Om Aris itu mencelat ke depan ke samping dan ke belakang secepat kilat dan bersalto beberapa kali di udara untuk kemudian mendarat dengan sempurna di atas kedua kakinya dengan keseimbangan menyerap efek lontaran yang mengagumkan.
Anak-anak itu kontan bertepuk tangan dengan senang, kecuali Reni yang menjadi sangat gelisah. Begitu anak-anak lelaki itu mengerumuni Om Aris menyanjung-nyanjung tentang kemampuannya itu dan dengan serentak ingin belajar, Reni tidak tahan lagi: