Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kearifan Lokal Menyambut Lailatul Qadar

15 Mei 2020   10:52 Diperbarui: 16 Mei 2020   04:45 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi nenek penjual pisang | tribunnews.com

Di Kota Solo, ada satu tradisi unik dalam rangka menyambut malam kemuliaan yang disebut sebagai Malam Selikuran yang bisa dijumpai di Keraton Surakarta Hadiningrat pada malam ke-21 bulan Ramadhan setiap tahunnya.

Malam Selikuran dilakukan dengan kirab mengarak tumpeng dengan diiringi lampu ting atau pelita dimulai dari Keraton Surakarta sampai ke Masjid Agung Surakarta. Acara kirab Malam Selikuran diikuti oleh ratusan peserta yang terdiri dari para abdi dalem, pejabat dan keluarga keraton, masyarakat, hingga petugas keamanan dari berbagai elemen seperti kepolisian, Brimob, serta Banser

Memperhatikan maraknya tradisi budaya keagamaan menyambut malam Lailatu Qadar di berbagai daerah, menyiratkan adanya upaya siar keagamaan sejak lama dengan tujuan memberikan pemahaman mendalam dan luas mengenai Lailatul Qadar kepada masyarakat.

Namun, seiring berjalannya waktu, kerap kali tradisi keagamaan tersebut akhirnya berhenti sebagai kegiatan kebiasaan lahiriah dan formalistik semata, kosong dari pemaknaan.

Padahal secara antropologis terkandung simbol-simbol dari budaya keagamaan yang sangat sarat dengan pesan moralnya. Proses akulturasi dan asimilasi antara budaya dengan agama selalu terjadi di tengah-tengah masyarakat, mengingat agama tidak hadir pada ruang hampa. Agama hadir pada manusia yang berbudaya.

Nah bicara pemaknaan dan pesan moral melalui tradisi dan kearifan lokal, cerita yang sedang viral di group WA (saya tidak tahu siapa penulisnya) yang kiranya bisa menjadi contoh bagaimana pencapaian Lailatur Qadar tidak hanya didapat melalui kegiatan bersifat lahiriah dan formalistik semata. Lailatu Qadar justru bisa diperoleh lewat laku dan perbuatan keseharian seperti yang dilakukan nenek penjual pisang


Berikut ceritanya:

"Wah...pisangnya bagus-bagus Mbah..." kataku sembari berjongkok di depan perempuan sepuh yang berjualan di pinggir jalan depan pasar...

"Lha monggo _dipundut (dibeli)..." kata perempuan itu riang.

Sungguh sudah sangat sepuh, rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam. Kurus badannya. Tapi suaranya cemengkling masih nyaring), riang. Giginya terlihat masih utuh.

"Ini kepok kuning... bagus dikolak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun