Di Kota Solo, ada satu tradisi unik dalam rangka menyambut malam kemuliaan yang disebut sebagai Malam Selikuran yang bisa dijumpai di Keraton Surakarta Hadiningrat pada malam ke-21 bulan Ramadhan setiap tahunnya.
Malam Selikuran dilakukan dengan kirab mengarak tumpeng dengan diiringi lampu ting atau pelita dimulai dari Keraton Surakarta sampai ke Masjid Agung Surakarta. Acara kirab Malam Selikuran diikuti oleh ratusan peserta yang terdiri dari para abdi dalem, pejabat dan keluarga keraton, masyarakat, hingga petugas keamanan dari berbagai elemen seperti kepolisian, Brimob, serta Banser
Memperhatikan maraknya tradisi budaya keagamaan menyambut malam Lailatu Qadar di berbagai daerah, menyiratkan adanya upaya siar keagamaan sejak lama dengan tujuan memberikan pemahaman mendalam dan luas mengenai Lailatul Qadar kepada masyarakat.
Namun, seiring berjalannya waktu, kerap kali tradisi keagamaan tersebut akhirnya berhenti sebagai kegiatan kebiasaan lahiriah dan formalistik semata, kosong dari pemaknaan.
Padahal secara antropologis terkandung simbol-simbol dari budaya keagamaan yang sangat sarat dengan pesan moralnya. Proses akulturasi dan asimilasi antara budaya dengan agama selalu terjadi di tengah-tengah masyarakat, mengingat agama tidak hadir pada ruang hampa. Agama hadir pada manusia yang berbudaya.
Nah bicara pemaknaan dan pesan moral melalui tradisi dan kearifan lokal, cerita yang sedang viral di group WA (saya tidak tahu siapa penulisnya) yang kiranya bisa menjadi contoh bagaimana pencapaian Lailatur Qadar tidak hanya didapat melalui kegiatan bersifat lahiriah dan formalistik semata. Lailatu Qadar justru bisa diperoleh lewat laku dan perbuatan keseharian seperti yang dilakukan nenek penjual pisang
Berikut ceritanya:
"Wah...pisangnya bagus-bagus Mbah..." kataku sembari berjongkok di depan perempuan sepuh yang berjualan di pinggir jalan depan pasar...
"Lha monggo _dipundut (dibeli)..." kata perempuan itu riang.
Sungguh sudah sangat sepuh, rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam. Kurus badannya. Tapi suaranya cemengkling masih nyaring), riang. Giginya terlihat masih utuh.
"Ini kepok kuning... bagus dikolak.