Saya melewati "Jembatan Romantis," sepanjang sekitar 25-an meter, berada di atas saluran irigasi yang dicor semen. Namanya sesuai dengan suasananya. Saya berhenti sejenak, menatap ke bawah jurang yang dalam. Saya merasa tenang karena jembatan itu cukup kokoh dan ada pegangan besinya berwarna merah. Alasnya sepertinya jenis kayu Kalimantan, kekuatannya pun jadi terjamin.
Jika beruntung, kamu bisa melihat Lutung Jawa di area hutan ini. Saya pernah melihatnya ketika melakukan solo hiking ke Puncak Botak Gunung Ungaran.
Wisata curug ini, ternyata diminati juga oleh wisatawan asing. Saya bertemu dengan lima orang (satu perempuan) warganegara Kenya. Saya pun menyapanya. Mereka sedang berlibur, jawab salah seorang.Â
Namun sayangnya saya tak bisa ngobrol panjang lebar dengan orang Kenya tersebut. Trek semakin lama menyempit. Ketika berjalan wajib konsentrasi. Di samping kiri jurang. Lengah bisa berakibat pensiun dini dari Kompasiana, pikirku. Ada sih pagar pengaman, namun hanya sebagian, tidak semuanya. Saya berjalan terus meninggalkan mereka.
Petualangan sesunguhnya terasa ketika saya menuruni jalur peralihan lantaran sisi tebing di jalur utama longsor. Sehingga trek pun diarahkan turun memutar. Namun menurut saya ini justru lebih mengasyikkan.
Ban-ban bekas mobil ditanam sebagai alas trek yang dilewati. Ban-ban karet tersebut bisa sebagai penahan erosi. Atasnya dibiarkan terlihat tak tertutup tanah. Ketika kaki saya melangkah di atasnya, seperti anak tangga empuk dan tidak licin.Â
Di bawah ada jembatan besi beralas seng tebal. Suara gemericik air membuat damai di hati. Di sini saya bertemu dengan beberapa wisatawan lokal.
Melalui trekking yang naik turun, badan pun menjadi hangat, sehingga sistem tubuh meresponnya dengan mengeluarkan keringat dari pori-pori kulit. Berjalan di tempat seperti ini tentunya menyehatkan jantung dan memperkuat otot-otot kaki.