Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Public Domain, Harta Terpendam di Indonesia

3 Agustus 2022   23:47 Diperbarui: 18 Februari 2023   16:35 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: https://jatenglive.com/

Sudah nonton film Thor Love and Thunder belum? Bagus tidak menurut kalian?

Film karya perusahaan adidaya Disney tersebut berhasil meraup keuntungan sebanyak $665 juta di seluruh dunia. Luar biasa bukan?

Meski dikenal sebagai salah satu superhero kondang komik Marvel, karakter Thor sesungguhnya berasal dari mitologi Skandinavia yang kemudian diadopsi serta direkonstruksi dengan narasi yang berbeda. 

Mengapa Marvel dapat mengubah cerita tersebut seenaknya, sementara karakter Thor bukanlah karya orisinil perusahaan komik mereka? Alasannya karena mitologi Thor merupakan sebuah Public Domain.

Secara sederhana, Public Domain mengacu pada setiap material yang tidak dilindungi oleh hukum kekayaan intelektual, seperti hak cipta, trademark serta hak paten karya tersebut. Hal itu dapat terjadi jika hak cipta sebuah karya telah habis masa berlakunya atau dicabut oleh pencipta, atau karya-karya yang merupakan properti budaya suatu masyarakat.

 Dengan demikian, mitologi Thor yang umurnya mencapai ribuan tahun masuk kedalam kategori ini dan bebas digunakan oleh siapa saja dalam menerbitkan buku, komik maupun film layar lebar.

Nah pada kesempatan ini, saya ingin membahas tentang public domain di negara tercinta, Indonesia. Tidak terhitung banyaknya kekayaan intelektual yang dapat dinarasikan di negeri ini. 

Setiap propinsi hingga kecamatan memiliki cerita rakyat, takhayul hingga mitologi yang sangat menarik jika mampu ditempa oleh tangan-tangan penulis dalam negeri. 

Tidak percaya? kalian mungkin bisa membaca cerpen sederhana saya yang terinspirasi dari public domain asal Ponorogo di (sini).

Meski kaya akan mitologi, penikmat fiksi di tanah air masih jarang disuguhkan dengan karya-karya yang lahir dari warisan nenek moyang tersebut. Mengapa demikian? Beberapa poin di bawah dapat menjawabnya.

  • Internasional > Lokal

Sudah menjadi rahasia umum bahwa produk narasi dari luar negeri lebih digemari oleh penikmat fiksi di Indonesia. Saya masih ingat akan masa kejayaan film Harry Potter yang merambah negeri ini di tahun 2000an.

 Meski tinggal di wilayah terpencil, euphoria serial adaptasi novel tersebut tetap dirasakan oleh teman-teman sekolah hingga para orang tua di wilayah tempat tinggal saya. 

Generasi berganti, namun tren tersebut seolah tidak bisa dibendung, hingga produk narasi yang menjadi pusat perhatian selalu datang dari luar negeri. 

Animasi Jepang atau Anime misalnya, berhasil merajai jam tayang televisi lokal pada waktu primetime. Serial seperti One Piece, Naruto dan Bleach digayangkan sebagai the big three yang merengut perhatian penikmat fiksi tanah air. 

Selain itu, kepopuleran serial adaptasi superhero asal Amerika Serikat kini menempati posisi puncak pada setiap bioskop dan streaming service di Indonesia.

Padahal jika kita mengurai narasi dari karya-karya tersebut, mayoritas cerita berawal dari sumber yang sama, public domain dimana penulis cerita dilahirkan. 

Harry Potter terinspirasi dari Lord of The Rings yang juga terinspirasi dari cerita rakyat negara Jerman. 

Naruto yang diadopsi dari mitologi Ninja di Jepang bahkan mengikutsertakan beberapa karakter dari cerita rakyat seperti Jiraya, Tsunade serta Orochimaru. Superman sekalipun tidak luput dari proses adopsi tersebut. Si Manusia Baja merupakan adaptasi dari karya filosofi apik Friedrich Nietzsche yang mengimajinasikan sosok manusia sempurna atau The Ãœbermensch.

Image: Tiga Ninja Legendaris cerita rakyat Jepang Stunade, Jiraya, Orochimaru (www.fujiarts.com)
Image: Tiga Ninja Legendaris cerita rakyat Jepang Stunade, Jiraya, Orochimaru (www.fujiarts.com)

 Jika demikian, produk narasi lokal sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa besar jika berani mengadopsi Public Domain yang tumbuh dan berkembang negeri ini. Stigma bahwa karya internasional selalu lebih baik seharusnya dapat diubah demi meningkatkan gairah produksi fiksi di Indonesia.

  • Gaya Tulis Asing = Keren

Sebenarnya tidak ada salahnya jika penulis lokal lebih menyukai gaya tulis penulis asing. Saya sendiri lebih suka membuat puisi berbahasa inggris daripada bahasa Indonesia (Penghianat!). Bukan karena apa-apa, bahasa Indonesia tuh susah.

Akan tetapi, sering sekali saya menemukan novel atau film populer yang menggunakan seting luar negeri. Mulai dari penamaan karakter hingga tempat dimana narasi berlangsung yang kental akan nuansa Eropa, China, Timur Tengah atau Korea Selatan, bahkan jika cerita tersebut menceritakan perjalanan wong Indo. 

Jika hal ini terus dilakukan secara masif, produk narasi Indonesia bisa kehilangan identitasnya. Dengan demikian, plagiarisme karya fiksi luar negeri menjadi hal yang wajar bagi media hiburan kita.

Sebagai komparasi, saya mengajak teman-teman menutup mata sejenak. Bayangkan secara ekstrim, (karakter, cerita, alur dan seting) seperti apakah identitas film Indonesia, lalu bandingkan dengan film India. 

Saya berani bertaruh, kesan yang lebih kuat pasti muncul dari film India, sebab industri perfilman India telah membangun karakteristik yang kental selama bertahun-tahun keberadaannya.

Keseriusan industri hiburan India dalam menempatkan identitas di baris depan  adalah pelajaran penting yang dapat dipetik oleh industri hiburan tanah air. 

 Nuansa kebudayaan dalam film India begitu membekas pada setiap penikmatnya sebab karya-karya tersebut berakar dari identitas bangsa yang termuat dalam public domain.

Image: tokoh utama film era kolonial 'RRR', mengadopsi legenda Mahabharat (indianexpress.com)
Image: tokoh utama film era kolonial 'RRR', mengadopsi legenda Mahabharat (indianexpress.com)
Poin ini tidak bertujuan untuk membatasi kreatifitas penulis sebab semua orang bebas menulis cerita yang mereka inginkan. Namun jika penulis terinspirasi untuk menerbitkan buku atau film bernuansa lokal, tunjukan secara eksklusif kekhasan dari nilai-nilai identitas lokal dalam cerita tersebut. 
  • Di-mentioned Asing = Bangga

 Pada tahun 2021 lalu, media masa hiburan tanah air digemparkan oleh sebuah film animasi karya Disney, Raya and The Last Dragon. Film itu mendapat pujian (sejauh pengamatan saya di media sosial) dari masyarakat Indonesia sebab mengadopsi unsur kebudayaan di Asia Tenggara. Sebagai penggemar aksi, koreografi pencak silat didalamnya mendapat perhatian saya saat menonton film itu. (Bangga tidak? bangga dong!)

Saya sempat menjelajah beberapa konten review film Raya yang dibuat oleh penggemar Indonesia. Beberapa komentar pada konten-konten tersebut cukup mengganggu saya. 

Banyak orang yang berharap film itu dapat menjadi awal bagi Disney untuk memproduksi  film-film animasi dengan nuansa Indonesia, menggunakan public domain dari negara kita. Cerita rakyat seperti Timun Mas, Roro Jonggrang dan lainnya dianggap cocok untuk dijadikan bagian dari Disney Princess.

(toh ga ada salahnya, ris. kenapa mengganggu? kan bagus itu.)

 Perusahaan Animasi Disney membangun karir mereka dengan mengumpulkan public domain dari banyak wilayah. Masa kejayaan atau renaisance era Disney dimulai ketika perusahaan tersebut memproduksi karya-karya yang dicaplok dari cerita rakyat Eropa seperti Sleeping Beauty, Cinderella, Princess Mermaid, Hercules dan masih banyak lagi. 

Disney dikenal sebagai perusahaan yang menjalankan regulasi ketat terhadap hak cipta dari kekayaan intelektual yang mereka miliki. 

Membiarkan public domain kita dikuasai oleh mereka sama saja seperti menemukan gunung emas, lalu memberikan hak tambangnya pada orang lain, SECARA GRATIS! 

Kebanggaan buta yang lebih mementingkan eksistensi dunia luar seperti ini sangatlah berbahaya.  Apalagi jika kita mengingat sudah berapa banyak produk budaya tanah air yang berkembang tanpa campur tangan kreator nasional. 

Masih ingat isu Reog Ponorogo yang di klaim oleh tetangga? Kenapa masyarakat mati-matian mempertahankan identitas tersebut ketika direbut oleh Malaysia, sementara dengan leluasa merelakan produk literasi kebudayaan kita digunakan oleh perusahaan serakah seperti Disney?

Public Domain memanglah tidak bisa dilarang penggunaannya oleh orang asing. Namun masih ada yang bisa kita lakukan untuk melindungi eksistensinya, yaitu dengan menciptakan karya yang turut mengadopsi warisan leluhur tersebut. 

Image: Dinsey Princess bernuansa Indonesia (Kompasiana.com)
Image: Dinsey Princess bernuansa Indonesia (Kompasiana.com)

Hufft jadi marah-marah kan.. sabaaaar

Demikianlah penjabaran singkat saya tentang public domain sebagai harta warisan nenek moyang. Jika dikelola dengan benar hal tersebut dapat menjadi aset terbesar yang dimiliki industri hiburan di Indonesia. 

Saya berharap tulisan ini dapat memberi pencerahan akan betapa pentingnya menulis karya fiksi dengan memperhitungkan nuansa lokal. Terimakasih sudah membaca, selamat menulis. :)

Sumber: satu, dua, tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun