Sudah menjadi rahasia umum bahwa produk narasi dari luar negeri lebih digemari oleh penikmat fiksi di Indonesia. Saya masih ingat akan masa kejayaan film Harry Potter yang merambah negeri ini di tahun 2000an.
 Meski tinggal di wilayah terpencil, euphoria serial adaptasi novel tersebut tetap dirasakan oleh teman-teman sekolah hingga para orang tua di wilayah tempat tinggal saya.Â
Generasi berganti, namun tren tersebut seolah tidak bisa dibendung, hingga produk narasi yang menjadi pusat perhatian selalu datang dari luar negeri.Â
Animasi Jepang atau Anime misalnya, berhasil merajai jam tayang televisi lokal pada waktu primetime. Serial seperti One Piece, Naruto dan Bleach digayangkan sebagai the big three yang merengut perhatian penikmat fiksi tanah air.Â
Selain itu, kepopuleran serial adaptasi superhero asal Amerika Serikat kini menempati posisi puncak pada setiap bioskop dan streaming service di Indonesia.
Padahal jika kita mengurai narasi dari karya-karya tersebut, mayoritas cerita berawal dari sumber yang sama, public domain dimana penulis cerita dilahirkan.Â
Harry Potter terinspirasi dari Lord of The Rings yang juga terinspirasi dari cerita rakyat negara Jerman.Â
Naruto yang diadopsi dari mitologi Ninja di Jepang bahkan mengikutsertakan beberapa karakter dari cerita rakyat seperti Jiraya, Tsunade serta Orochimaru. Superman sekalipun tidak luput dari proses adopsi tersebut. Si Manusia Baja merupakan adaptasi dari karya filosofi apik Friedrich Nietzsche yang mengimajinasikan sosok manusia sempurna atau The Ãœbermensch.
 Jika demikian, produk narasi lokal sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa besar jika berani mengadopsi Public Domain yang tumbuh dan berkembang negeri ini. Stigma bahwa karya internasional selalu lebih baik seharusnya dapat diubah demi meningkatkan gairah produksi fiksi di Indonesia.
- Gaya Tulis Asing = Keren
Sebenarnya tidak ada salahnya jika penulis lokal lebih menyukai gaya tulis penulis asing. Saya sendiri lebih suka membuat puisi berbahasa inggris daripada bahasa Indonesia (Penghianat!). Bukan karena apa-apa, bahasa Indonesia tuh susah.