Riris membuka pintu restoran, menapakan kaki pada bahaya. Tempat itu ramai dipenuhi gemuruh sendok yang beradu dengan piring, serta suara orang-orang yang sedang berbincang.Â
Ia menoleh ke kiri dan kanan, tubuhnya gemetaran dipenuhi peluh dingin. Perban menempel pada lengan, menutupi luka gigitan yang sakitnya mulai mereda. Â
Ia memilih tempat ini untuk bertemu karena klien yang menyewanya tak akan bisa berkhianat. Terlalu banyak saksi mata jika mereka berani macam-macam.
Terang saja ia harus waspada. Kliennya bukan penjahat sembarangan. Mereka baru saja beroperasi selama dua tahun belakangan, namun dalam waktu sesingkat itu, mereka mampu menarik perhatian banyak orang, dari penjahat hingga pemerintah.
 Mereka menyebut dirinya 'Warok' kelompok yang terkenal di dunia bawah tanah karena punya satu tujuan, menjatuhkan negara ini.Â
Matanya berkeliaran pada puluhan meja hitam yang membentang pada lantai marmer putih keruh, memenuhi ruangan berornamen klasik yang diterangi lampu merah yang menggantung pada langit-langit.Â
Sejenak mata Riris menangkap tangan yang melambai pada meja di tengah ruangan. Jemari seorang pria yang berhiaskan sejumlah batu akik memanggilnya datang bergabung. Riris menelan ludah, lalu mendekat.
"Kau sendirian? Tidak biasanya." Ujar seorang pria sembari mengusap kumis anggun yang bersarang pada wajah dengan kain lembut berkilatan memantulkan cahaya lampu.Â
Ia mengenakan jas abu-abu, kacamata coklat tebal terpasang mantap pada matanya, bak awan mendung yang menghadang sinar mentari. Sesaat kemudian ia memungulurkan tangan memberi isyarat agar Riris segera duduk di depannya.
"Teman-teman ku menunggu di luar. Lagipula ini tidak akan lama." Ujar Riris sembari meneguk minuman yang telah tersedia di meja.