Wendy menatap malam dari jendela, melirik gelapnya angkasa. Bintang-bintang enggan membagikan cahaya, rembulan bersembunyi dibalik awan.Â
Anjing menggonggong keras memecah kesunyian kota. Berteman bayangan, si gadis merundukan pikiran, melayang bersama hamparan atap sejauh mata memandang.Â
"Kau belum tidur, sayangku?"Â
Si gadis menorehkan kepala mencari sumber suara itu berasal. Seorang wanita bergaun merah keruh tersenyum dari pintu kamarnya. Ia melangkah maju, parasnya sayup merangkul kesedihan yang terpancar dari mata si gadis. Â
"Jangan menangis, Wendy. Ayahmu tidak akan senang melihatnya." Ucap wanita itu sembari memeluknya hangat.
"Apa aku harus melakukannya, bu?" Tanya Wendy getir, menyayat hati sang bunda.
"Oh, Wendy. Itu keputusan ayahmu. George tidak punya pilihan lain. Kumohon mengertilah." Ujar wanita itu mengelus-elus rambut merah putrinya.Â
Ingin sekali ia menggenggam tangan Wendy dan berkata semua akan baik-baik saja. Namun hati kecilnya tak mampu memberi harapan palsu akan nasib buruk yang menimpa putri tercinta.Â
Gadis itu akan menikah. Jika sang putri lima tahun lebih dewasa, jika calon suami adalah orang yang ia cintai, gadis itu tak akan berlinang air mata, gemetar menunggu hari esok.
"Tuan Killian pria yang baik." Ujar sang ibu.
"Jangan bercanda, Ibu. Siapapun tahu kalau itu tidak benar. Ibu tahu orang-orang di kota memanggilnya apa? Captain Hook, si penjerat hutang." Bantah Wendy menghempaskan tangan ibunda. Â
Killian Jones ialah seorang saudagar kaya. Perusahaan kapal The Jolly Roger miliknya menguasai jalur perdagangan yang menghubungkan kota dengan wilayah lain.Â
Jika Wendy menikah dengan Killian, ayahnya akan mendapat akses distribusi di seluruh wilayah, beserta penghapusan hutang yang menumpuk tak terbayarkan.Â
Wendy tak bedanya dengan hasil panen yang dijual sang ayah. Ketika sudah waktunya merekah, ia dipetik, dipelintir kepalanya agar patuh menerima takdir laksana buah yang telah matang.Â
Tapi ia bukan seorang wanita, setidaknya belum. Ia hanya gadis kecil yang baru saja berhenti menimang boneka dan menuangkan angin kedalam cangkir teh. Mengapa ayahnya tega? tak ingatkah ia akan janjinya?
"Kau tahu, ibu juga dijodohkan dengan ayahmu." Ujar ibunda menarik Wendy dari lamunannya.
"Benarkah ibu?" Tanya si gadis, parasnya mengeras karena terkejut.
"Waktu itu, ibu setahun lebih mudah darimu. Awal pernikahan juga sangat menyiksa bagi ibu. Tapi semuanya berubah semenjak..." Ia menatap putrinya lekat-lekat. Senyum kecil menyimpul di bibirnya.
"Semenjak apa bu?"
"Putri kecil ibu lahir." Ia mengecup kening Wendy hangat, "Kau menghapus kesengsaraan ibu." Ia menggenggam tangan Wendy dan meletakannya di dada.
"Dengarkan ibu, Wendy. Tidak masalah jika kau tidak mencintai suamimu. Namun kau akan mencintai darah dagingmu. Senyuman mereka akan membuat segalanya sepadan. Penderitaan akan berlalu, lalu yang menunggumu diseberang ialah kebahagiaan. Percayalah." Sang ibu menelan ludah.Â
Akhirnya ia berbohong memberi harapan pada putri tercinta. Setiap detik bersama George bak berenang di sungai mendidih yang tak bisa ia temukan tepiannya. Namun saat ini, sang putri perlu peneguhan. Bahkan bila hal itu lahir dari jurang kepalsuan.Â
Wendy menatap wajah ibunya lekat. Parasnya kaku tak terbaca. Ia membuka mulut, bersiap membantah kata-kata tak masuk akal itu.Â
Apa gunanya? si gadis menghela nafas, memaksakan senyuman agar terpola pada bibirnya. Ia mengangguk halus lalu tenggelam dalam pelukan sang ibu.Â
Menit berganti jam, cahaya rembulan semakin redup di keheningan malam. Wendy termenung sendiri sebab sang ibu telah pergi dari sisinya, enggan terjaga menunggu pagi. Rasa kantuk pun perlahan meracuni pikirannya. Mungkin sudah saatnya malam ini ia akhiri.Â
Gadis itu berdiri dari jendela kamar, melangkahkan kaki menuju tempat tidur. Ia me_ suara apa itu? Â
Wendy membalikan badan, jantungnya bergendup kencang. Mata si gadis melotot menerawang setiap sudut kamar mencari asal suara. Ia melirik ke jendela, hanya kain gorden yang menari ditiup angin.Â
Matanya berpindah pada lemari, lagi-lagi hampa. Cahaya lentera membias halus di dinding kamar memberi jingga pada mata Wendy yang terus meraba bukti kehadiran sesuatu, atau mungkin seseorang. Â
"Apa yang kita cari?"
Suara itu mengagetkan Wendy. Jeritan singkatnya menggema di dinding kamar. Ia hentak meloncat lalu tersungkur meraba lantai.
"Kau tidak apa-apa Wendy?" Ujar seorang bocah tersenyum sembari menjulurkan tangan. Ia berselimut tunic hijau bak rerumputan musim semi.Â
Rambut pirangnya benderang mengalahkan cahaya lentera laksana surya saat pagi menjelang. Ingin sekali Wendy berteriak memanggil ibunda, namun kehangatan si bocah membungkam bibirnya. Aura yang menenangkan itu tak mampu dilawan oleh logika. Si gadis meraih jemari si bocah lalu berdiri.
"Aku tidak apa-apa, Peter." Tunggu dulu, dari mana aku tahu namanya?
"Syukurlah. kau meloncat cukup tinggi, ku kira kau akan terbang tanpa serbuk peri." Sahut Peter tertawa.
Wendy menatapnya kebingungan. Ia belum pernah bertemu dengan Peter, namun ia seperti mengenalnya sejak lama. Ketakutan seolah sirna ketika ia menggenggam tangan si bocah.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Wendy.
"Bukankah sudah jelas? aku datang karena kau memangilku." Jawab Peter sembari membenamkan badan di kasur milik si gadis.
"Aku tidak ingat pernah memanggilmu."
"Oh, tapi kau melakukannya, Wendy. Air mata ialah panggilan bagiku. Aku datang membawa sukacita bagi anak-anak yang membutuhkannya." Ujarnya menyilangkan kedua tangan di belakang kepala.
Wendy menggeleng pelan, matanya tajam menatap ke depan. Bocah yang aneh. Kamarnya berada di lantai dua. Bagaimana mungkin ia bisa naik kesini?
Peter memalingkan pandangan pada pintu kamar, sejenak melirik kehampaan.
"Mary kelihatan sangat berbeda." Katanya.
"Kau mengenal ibuku?" Ucap Wendy tak percaya.
"Tentu saja. Sepertimu, Mary pernah menjadi anak-anak. Aku mengenal semua anak. Itu sudah tugasku."
"Apa maksudmu?" Sahut Wendy yang tenggelam dalam sejuta pertanyaan di benaknya.
"Kau tidak bosan bertanya terus? Aku tidak datang untuk mengenalkan diri, Wendy. Kau sudah tahu siapa aku. Kau memanggilku Peter, bukan?" Jawab si bocah acuh-tak acuh sambil bangun dari kasur.Â
Gadis itu terdiam tanpa kata. Â Memang benar ia tahu nama si bocah. Tapi mengapa ia tahu hal itu, ia tidak memahaminya. Peter begitu asing, namun juga sangat familiar. Oleh karenanya, ia hanya bisa melempar tanya. Si gadis berfikir keras meramu satu pertanyaan terakhir yang tak membuat Peter enggan menjawab.
"Lalu kenapa kau kemari, Peter?"Â
Si bocah tersenyum lebar, senyuman yang dapat meneduhkan neraka.
"Captain Hook_" Ujarnya, "Ia yang membuatmu menangis. Kau tidak tidur saat malam datang, sarapan juga tak menyenangkan lidahmu. Kau gadis yang malang."
Wendy terdiam sesaat, menundukan kepala. Itu semua benar. Keputusan ayahnya seperti racun yang perlahan menghancurkan jiwa si gadis. Padahal sang ayah telah berjanji mengirimnya menuntut ilmu di kota seberang lautan sana. Melihat dunia, bertemu dengan orang-orang baru, bahkan mungkin mengenal cinta. Ayah telah berubah, dan kini ia harus menanggung akibatnya, menikahi pria yang jauh lebih tua darinya.
"Itu tidak ada hubungannya denganmu, Peter."
"Tentu saja ada_" sahut si bocah girang,"Karena aku punya solusi agar kau tidak perlu menikah."
Mata Wendy terbelalak. Harapan terpancar dari paras cantik si gadis laksana sinar mentari yang menembus sela-sela bilik bambu.Â
"Benarkah?"
"Ya, kau bisa ikut denganku, menuju NEVERLAND" Jawab Peter.
Wendy tertegun tak mengerti.
"Pergi katamu, ke kota lain begitu?"
"Neverland bukanlah kota, Wendy, tapi sebuah negeri ajaib. Di sana kau bisa bertemu dengan teman-teman ku, the lost boys. Kau dapat mengarungi ribuan pulau dan berenang di lautan bersama putri duyung. Di Neverland, kita tidak perlu memikirkan masalah orang dewasa sebab kita tidak akan pernah dewasa. Setiap hari adalah petualangan, setiap detik hanyalah sukacita. Bukankah itu yang kau inginkan?" Jelas Peter penuh semangat.
Si gadis termangu menatap Peter yang tersenyum bodoh di depannya. Negeri ajaib? putri duyung? omong-kosong macam apa ini? Ia mungkin hanya gadis kecil, tapi ia cukup tua untuk membedakan kenyataan dari khayalan.Â
"Kau lagi bercanda ya. Tempat seperti itu mana mungkin ada." Ujar Wendy sinis, menyilangkan lengan di dadanya.
"Kau tidak percaya padaku, bahkan setelah aku muncul dihadapanmu?" Ujar Peter murung.
"Kau memang bocah yang aneh, Peter. Tapi kau tetaplah seorang bocah. Kau kira aku tidak pernah berfikir untuk melarikan diri? Aku sangat ingin pergi dari sini, tapi ayah dan ibu membutuhkanku. Pernikahan ini akan menyelamatkan keluarga kami. Aku harus melakukannya, sebab me_" belum sempat Wendy selesai berbicara, peter memotong,
"Menjadi dewasa berarti memilih keputusan yang benar, meskipun kita tidak menginginkannya." Sahut si bocah.
"Dari mana kau tahu kalimat itu?"
"Itu kalimat yang sama yang Mary ucapkan padaku. Aku mendatanginya malam itu, malam sebelum ia menikahi ayahmu." Jawab Peter sembari merogo kantong kulit di pinggul. Ia mengambil segenggam serbuk emas dari dalam kantung dan melemparkannya ke tanah. Seketika serbuk itu berkilatan di sekeliling Peter, membuatnya melayang di udara. Wendy terkesima melihat tubuh si bocah mengambang bak dedaunan musim gugur yang ditiupi angin.
"Seperti waktu itupun, aku tidak mengerti kenapa Mary yang harus menanggung semuanya. Aku tidak percaya kalau itu keputusan yang benar jika hatimu terluka saat membayangkannya. Mungkin kau benar, aku hanyalah seorang bocah, tapi begitu juga dengan dirimu. Jika kau begitu inginnya cepat dewasa, maka aku tidak diperlukan di sini. Selamat tinggal, Wendy. Jangan khawatir, kau tidak akan ingat pertemuan kita setelah aku pergi." Ujar Peter melayang pelan menuju jendela kamar.
"Apa kita akan bertemu lagi, Peter?"
"Suatu saat nanti, ketika kau sudah siap." Ujar Peter sembari tersenyum hangat.
Bocah yang aneh. Seenaknya saja datang dan pergi seperti mimpi. Namun seperti mimpi indah, Peter menghadirkan kehangatan yang telah lama ia lupakan.Â
Seperti saat ia dipangku sang bunda di depan perapian, atau ketika ia naik di pundak sang ayah mengitari taman kota. Peter berbohong. Ia bukanlah pembawa sukacita, tetapi kebahagiaan itu sendiri.
Sejenak kata-katanya menghantui pikiran Wendy. Bocah itu benar. Mengapa ia yang harus menangggung penderitaan ini?
Mengapa dirinya harus membayar kesalahan sang ayah? Ia tidak ingin menikah, apalagi jika Captain Hook calon suaminya. Ia menginginkan kebahagian itu, ia ingin bersama Peter. Semua kini terlihat jelas.
"Tunggu, Peter!"
Peter membalikan badan, barisan gigi bercahaya menghiasi wajahnya.
"Bawa aku bersamamu." Ujar gadis itu sembari tersenyum. Matanya berkilatan menjamah jemari Peter. Seketika ribuan butir serbuk emas mengerumuni tubuh Wendy laksana kunang-kunang yang menari di kegelapan malam.
Keduanya melesat menembus barisan awan hingga mencapai angkasa, bermandikan cahaya bintang. Wendy tertawa ria menerjang hembusan angin yang mengibarkan setiap helai rambutnya. Peter menggenggam tangan si gadis lalu berputar-putar seperti lumba-lumba yang berenang mengarungi langit. Matanya terpaku pada paras si gadis yang kini merona penuh sukacita.
Sesaat kemudian keduanya berhenti. Sambil tersenyum, Peter menunjuk hamparan pulau di bawah mereka. Ribuan pulau hijau membentang memenuhi cakrawala.Â
Di tengahnya, sebuah gunung menjulang tinggi menyentuh awan. Puluhan air terjun mengalir dari tubuh bebatuan, menambah keindahan gunung. Wendy menarik nafas seolah tak percaya akan pemandangan luar biasa ini. Sebuah dunia ajaib yang tidak pernah ia bayangkan kini akan menjadi tempat tinggal baru bagi ia dan Peter. Sungguh mengagumkan.
"Selamat datang di Nerverland, Wendy." Ujar Peter menarik si gadis dari lamunannya.
***
George berguling lemas di kasur. Satu lagi malam yang ia habiskan tenggelam dalam minuman keras, disambut sakit kepala ketika pagi menjelang.Â
Perlahan ia membuka mata, enggan kembali pada kenyataan akan bisnis yang tengah di ujung tanduk, bergantung pada seorang penjerat hutang yang ingin menikahi putrinya. Ia mengumpat ketika cahaya matahari menyentuh mata. Sinarnya bagai pengingat akan kegagalan sebagai seorang ayah, sebagai laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung keluarga.Â
Aaaaarrghh!!
Mary! Suara teriakan istrinya laksana air sungai yang disiram ke wajah George. Secepat kilat ia beranjak dari tempat tidur, berlari menuruni puluhan anak tangga, lalu menyerbu pintu depan rumah.Â
Ia jatuh berlutut di teras, matanya melotot memandangi tubuh seorang gadis tergeletak di kubangan darahnya sendiri. Ia menengok keatas, melihat jendela kamar Wendy yang tengah terbuka lebar. Mary berlari kearahnya, menangis keras sembari memukul-mukul dada George.
"Ini semua salahmu, kau membunuh putri kita!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H