"Itu kalimat yang sama yang Mary ucapkan padaku. Aku mendatanginya malam itu, malam sebelum ia menikahi ayahmu." Jawab Peter sembari merogo kantong kulit di pinggul. Ia mengambil segenggam serbuk emas dari dalam kantung dan melemparkannya ke tanah. Seketika serbuk itu berkilatan di sekeliling Peter, membuatnya melayang di udara. Wendy terkesima melihat tubuh si bocah mengambang bak dedaunan musim gugur yang ditiupi angin.
"Seperti waktu itupun, aku tidak mengerti kenapa Mary yang harus menanggung semuanya. Aku tidak percaya kalau itu keputusan yang benar jika hatimu terluka saat membayangkannya. Mungkin kau benar, aku hanyalah seorang bocah, tapi begitu juga dengan dirimu. Jika kau begitu inginnya cepat dewasa, maka aku tidak diperlukan di sini. Selamat tinggal, Wendy. Jangan khawatir, kau tidak akan ingat pertemuan kita setelah aku pergi." Ujar Peter melayang pelan menuju jendela kamar.
"Apa kita akan bertemu lagi, Peter?"
"Suatu saat nanti, ketika kau sudah siap." Ujar Peter sembari tersenyum hangat.
Bocah yang aneh. Seenaknya saja datang dan pergi seperti mimpi. Namun seperti mimpi indah, Peter menghadirkan kehangatan yang telah lama ia lupakan.Â
Seperti saat ia dipangku sang bunda di depan perapian, atau ketika ia naik di pundak sang ayah mengitari taman kota. Peter berbohong. Ia bukanlah pembawa sukacita, tetapi kebahagiaan itu sendiri.
Sejenak kata-katanya menghantui pikiran Wendy. Bocah itu benar. Mengapa ia yang harus menangggung penderitaan ini?
Mengapa dirinya harus membayar kesalahan sang ayah? Ia tidak ingin menikah, apalagi jika Captain Hook calon suaminya. Ia menginginkan kebahagian itu, ia ingin bersama Peter. Semua kini terlihat jelas.
"Tunggu, Peter!"
Peter membalikan badan, barisan gigi bercahaya menghiasi wajahnya.
"Bawa aku bersamamu." Ujar gadis itu sembari tersenyum. Matanya berkilatan menjamah jemari Peter. Seketika ribuan butir serbuk emas mengerumuni tubuh Wendy laksana kunang-kunang yang menari di kegelapan malam.