Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Peter Pan

19 Juli 2022   17:40 Diperbarui: 22 Juli 2022   21:15 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Peter Pan. (sumber: UNIVERSAL STUDIO/JASIN BOLAND)

Akhirnya ia berbohong memberi harapan pada putri tercinta. Setiap detik bersama George bak berenang di sungai mendidih yang tak bisa ia temukan tepiannya. Namun saat ini, sang putri perlu peneguhan. Bahkan bila hal itu lahir dari jurang kepalsuan. 

Wendy menatap wajah ibunya lekat. Parasnya kaku tak terbaca. Ia membuka mulut, bersiap membantah kata-kata tak masuk akal itu. 

Apa gunanya? si gadis menghela nafas, memaksakan senyuman agar terpola pada bibirnya. Ia mengangguk halus lalu tenggelam dalam pelukan sang ibu. 

Menit berganti jam, cahaya rembulan semakin redup di keheningan malam. Wendy termenung sendiri sebab sang ibu telah pergi dari sisinya, enggan terjaga menunggu pagi. Rasa kantuk pun perlahan meracuni pikirannya. Mungkin sudah saatnya malam ini ia akhiri. 

Gadis itu berdiri dari jendela kamar, melangkahkan kaki menuju tempat tidur. Ia me_ suara apa itu?  

Wendy membalikan badan, jantungnya bergendup kencang. Mata si gadis melotot menerawang setiap sudut kamar mencari asal suara. Ia melirik ke jendela, hanya kain gorden yang menari ditiup angin. 

Matanya berpindah pada lemari, lagi-lagi hampa. Cahaya lentera membias halus di dinding kamar memberi jingga pada mata Wendy yang terus meraba bukti kehadiran sesuatu, atau mungkin seseorang.  

"Apa yang kita cari?"

Suara itu mengagetkan Wendy. Jeritan singkatnya menggema di dinding kamar. Ia hentak meloncat lalu tersungkur meraba lantai.

"Kau tidak apa-apa Wendy?" Ujar seorang bocah tersenyum sembari menjulurkan tangan. Ia berselimut tunic hijau bak rerumputan musim semi. 

Rambut pirangnya benderang mengalahkan cahaya lentera laksana surya saat pagi menjelang. Ingin sekali Wendy berteriak memanggil ibunda, namun kehangatan si bocah membungkam bibirnya. Aura yang menenangkan itu tak mampu dilawan oleh logika. Si gadis meraih jemari si bocah lalu berdiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun