Keduanya melesat menembus barisan awan hingga mencapai angkasa, bermandikan cahaya bintang. Wendy tertawa ria menerjang hembusan angin yang mengibarkan setiap helai rambutnya. Peter menggenggam tangan si gadis lalu berputar-putar seperti lumba-lumba yang berenang mengarungi langit. Matanya terpaku pada paras si gadis yang kini merona penuh sukacita.
Sesaat kemudian keduanya berhenti. Sambil tersenyum, Peter menunjuk hamparan pulau di bawah mereka. Ribuan pulau hijau membentang memenuhi cakrawala.Â
Di tengahnya, sebuah gunung menjulang tinggi menyentuh awan. Puluhan air terjun mengalir dari tubuh bebatuan, menambah keindahan gunung. Wendy menarik nafas seolah tak percaya akan pemandangan luar biasa ini. Sebuah dunia ajaib yang tidak pernah ia bayangkan kini akan menjadi tempat tinggal baru bagi ia dan Peter. Sungguh mengagumkan.
"Selamat datang di Nerverland, Wendy." Ujar Peter menarik si gadis dari lamunannya.
***
George berguling lemas di kasur. Satu lagi malam yang ia habiskan tenggelam dalam minuman keras, disambut sakit kepala ketika pagi menjelang.Â
Perlahan ia membuka mata, enggan kembali pada kenyataan akan bisnis yang tengah di ujung tanduk, bergantung pada seorang penjerat hutang yang ingin menikahi putrinya. Ia mengumpat ketika cahaya matahari menyentuh mata. Sinarnya bagai pengingat akan kegagalan sebagai seorang ayah, sebagai laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung keluarga.Â
Aaaaarrghh!!
Mary! Suara teriakan istrinya laksana air sungai yang disiram ke wajah George. Secepat kilat ia beranjak dari tempat tidur, berlari menuruni puluhan anak tangga, lalu menyerbu pintu depan rumah.Â
Ia jatuh berlutut di teras, matanya melotot memandangi tubuh seorang gadis tergeletak di kubangan darahnya sendiri. Ia menengok keatas, melihat jendela kamar Wendy yang tengah terbuka lebar. Mary berlari kearahnya, menangis keras sembari memukul-mukul dada George.
"Ini semua salahmu, kau membunuh putri kita!"