"Tentu saja. Sepertimu, Mary pernah menjadi anak-anak. Aku mengenal semua anak. Itu sudah tugasku."
"Apa maksudmu?" Sahut Wendy yang tenggelam dalam sejuta pertanyaan di benaknya.
"Kau tidak bosan bertanya terus? Aku tidak datang untuk mengenalkan diri, Wendy. Kau sudah tahu siapa aku. Kau memanggilku Peter, bukan?" Jawab si bocah acuh-tak acuh sambil bangun dari kasur.Â
Gadis itu terdiam tanpa kata. Â Memang benar ia tahu nama si bocah. Tapi mengapa ia tahu hal itu, ia tidak memahaminya. Peter begitu asing, namun juga sangat familiar. Oleh karenanya, ia hanya bisa melempar tanya. Si gadis berfikir keras meramu satu pertanyaan terakhir yang tak membuat Peter enggan menjawab.
"Lalu kenapa kau kemari, Peter?"Â
Si bocah tersenyum lebar, senyuman yang dapat meneduhkan neraka.
"Captain Hook_" Ujarnya, "Ia yang membuatmu menangis. Kau tidak tidur saat malam datang, sarapan juga tak menyenangkan lidahmu. Kau gadis yang malang."
Wendy terdiam sesaat, menundukan kepala. Itu semua benar. Keputusan ayahnya seperti racun yang perlahan menghancurkan jiwa si gadis. Padahal sang ayah telah berjanji mengirimnya menuntut ilmu di kota seberang lautan sana. Melihat dunia, bertemu dengan orang-orang baru, bahkan mungkin mengenal cinta. Ayah telah berubah, dan kini ia harus menanggung akibatnya, menikahi pria yang jauh lebih tua darinya.
"Itu tidak ada hubungannya denganmu, Peter."
"Tentu saja ada_" sahut si bocah girang,"Karena aku punya solusi agar kau tidak perlu menikah."
Mata Wendy terbelalak. Harapan terpancar dari paras cantik si gadis laksana sinar mentari yang menembus sela-sela bilik bambu.Â