PR seharusnya bukan beban, tapi tantangan. Tantangan untuk berpikir kritis, untuk belajar mandiri, dan untuk mengatur waktu.
Namun, PR juga harus realistis. Jangan sampai PR menjadi momok yang menakutkan, yang justru membuat anak-anak benci belajar.
Seorang guru yang bijak akan memberikan PR yang bermakna, yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, yang merangsang rasa ingin tahu dan kreativitas. PR bukan tentang kuantitas, tapi kualitas.
Saya mencoba menerawang kembali masa kecil dahulu dimana PR juga bisa menjadi momen kebersamaan keluarga.
Saat anak mengerjakan PR, orang tua bisa mendampingi, memberikan dukungan, dan bahkan belajar bersama. Ini adalah kesempatan emas untuk membangun ikatan keluarga yang erat.
Teknologi dan PR: Musuh atau Sahabat?
Sekarang, mari kita bahas tentang teknologi. Di satu sisi, teknologi bisa menjadi alat bantu yang luar biasa dalam pendidikan. Dengan bantuan teknologi, PR bisa menjadi lebih menarik dan interaktif.
Misalnya, tugas membuat video presentasi atau mengerjakan soal-soal interaktif online. Anak-anak bisa belajar sambil bermain, dan PR tidak lagi terasa seperti beban.
Namun, di sisi lain, teknologi juga bisa menjadi gangguan besar. Bayangkan anak-anak yang seharusnya mengerjakan PR, tapi malah asyik bermain game atau berselancar di media sosial. PR bisa kehilangan esensinya jika tidak diawasi dengan baik.
Maka dari itu, peran orang tua dan guru sangat penting dalam mengarahkan penggunaan teknologi agar bermanfaat. Jangan sampai PR justru membuat anak-anak terisolasi dengan gadget mereka. PR harus menjadi jembatan, bukan penghalang.
PR dan Kesehatan Mental