Dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982) dikemukakan bahwa pasal 149 tentang Archeological and historical objects yaitu ; All objects of an archeological and historical nature found in the Area shall be preserved or disposed of for the benefit of mankind as a whole, particular regard being paid to the preferential rights of the state or country of origin, or the state of cultural origin, or the state oh Historical and archeological origin.
Berdasarkan isi konvensi tersebut, tidak ada yang menyebutkan tentang harta karun, tetapi mengemukakan archeological and historical objects (benda-benda arkeologi dan bersejarah) found in the area, yang ditemukan di kawasan bawah laut, dipelihara dan dilindungi untuk kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Dalam pasal UNCLOS ini tidak dikemukakan soal negara pantai (coastal state) tempat ditemukannya kapal karam tersebut. Tetapi perhatiannya adalah tempat asli benda-benda bersejarah itu berasal. Empat kali menyebutkan tentang keaslian (origin) benda-benda itu; negara asli (state of origin), budaya asli (cultural origin), sejarah dan arkeologi asli (historical and archeological origin). Â Â
Berkaitan terhadap rumusan pasal sebagaimana dimaksud diatas, selanjutnya Pasal 303 UNCLOS menjelaskan bahwa negara-negara berkewajiban untuk melindungi benda purbakala dan benda bersejarah yang ditemukan di laut. Dalam hal mengendalikan peredaran benda-benda tersebut, maka negara pantai dapat menerapkan ketentuan Pasal 33 dalam hal diambilnya benda tersebut dari dalam laut tanpa persetujuan negara pantai merupakan suatu pelanggaran terhadap wilayah laut teritorialnya.
Pasal 33 UNCLOS menyebutkan bahwa dalam zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, yang dinamakan zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk : (1) Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya; dan (2) Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut diatas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.
Adanya kewenangan negara pantai untuk melindungi keberadaan benda purbakala dan benda bersejarah menjadi pemahaman yang dapat diterima secara internasional bagi penegakkan hukum (law enforcement).
Lalu bagaimana dengan upaya pengelolaan BMKT dalam regulasi Indonesia ?. Pertama kita akan mendapati bahwa pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka secara mutatis mutandis pengelolaan benda cagar budaya atau benda yang patut diduga cagar budaya masuk ke ranah regulasi dimaksud.
Bahkan, eksistensi peraturan tersebut mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan memoratorium pengangkatan BMKT dan mengeluarkan daftar negatif investasi melalui Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 yang mengatakan bahwa BMKT merupakan investasi tertutup, senada dengan derivasinya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4 Tahun 2016, mengenai Moratorium Perijinan Survey dan Pengangkatan BMKT.
BMKT di Indonesia secara prinsip ditujukan bagi kepentingan konservasi dan pendidikan bukan dikomersialisasikan, dan ditegaskan pula keengganan untuk meratifikasi konvensi UNESCO 2001.
Keputusan untuk meratifikasi atau tidak perlu dikaji secara mendalam manfaatnya bagi kepentingan nasional, karena terdapat konsekuensi yang harus ditanggung, seperti antara lain:
(1) menghentikan perizinan yang telah dikeluarkan termasuk mengembalikan kepada investor segala biaya yang sudah dikeluarkan dalam rangka perizinan;