"Bilang apa?" tanyaku.
"Berarti belum."
"Berhenti merahasiakan sesuatu dari aku!" seruku.
"Aku hanya tidak mau merusak rencana Kapti." Katanya.
"Berhenti membuat rencana di belakangku kalau begitu!"
Ia tetawa, "Sudah terlanjur, aku harus memegang janji."
Kesehatan Emak semakin menurun, tapi aku urung memberitahu Kombe, takut ia khawatir. Toh sebentar lagi ia bebas. Jadi kuputuskan untuk membatalkan keinginanku.
Beberapa hari setelah itu, di petengahan bulan akhirnya Kombe keluar. Aku dan Kapti menjemputnya dengan membawakan es cendol yang ia pesan. Di mobil kami saling melempar kelakar, akhirnya kerinduan kami yang mengakar tumpah ruah. Kombe yang keasikan menyeruput cendolnya tiba-tiba tertawa kencang dengan menitihkan air mata. Aku dan Kapti yang ada di kursi depan tentu tidak mau mengganggu emosinya yang sedang direlease. Beberapa kali kami tawarkan untuk mampir di tempat oleh-oleh untuk membelikan Emak bingkisan, tapi Kombe menolak. Agaknya ia tidak sabar untuk bertemu dengan Emak. Untuk menumpahkan rindu juga rasa bersalah.
Sampai di depan rumah Kombe, semua orang ternyata berkumpul di sana. Bendera merah tertancap di pagar halamannya. Tanda bahwa kematian telah menghampiri salah satu dari penghuni rumah tersebut. Sedangkan rumah itu hanya dihuni oleh Kombe dan Emaknya.
Kami bertiga sama terkejutnya. Lalu berlari menembus kerumunan orang-orang yang mengikrarkan tahlil beriringan. Penyesalan adalah satu-satunya rasa yang sempurna mendeskripsikan ini semua. Beberapa menit lalu kami masih tertawa membicarakan rencana kedepan. Beberapa menit lalu kami masih merayakan kebebasan yang selama ini kami tunggu. Beberapa menit lalu, tidak ada yang memberitahu kami berita apapun.
Baru aku tahu, ternyata tidak ada waktu yang tepat untuk sebuah kabar buruk. Ini menyakitkan bagi kami. Dunia seperti tidak mengizinkan kami untuk bersenang-senang dalam durasi yang panjang.