"Kalian kenapa sih, sering memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan dari aku?"
Kombe hanya tersenyum dengan mulut penuh sambil mengusap kepalaku tanpa menjawab pertanyaan itu. "Kabar Mama gimana? Sehat kan?"
"Kamu nggak perlu mengkhawatirkan istri orang. Khawatirkan saja diri kamu sendiri!" Aku tahu maksud Kombe dengan pertanyaan itu. Namun aku menunda bicara lagi sampai ia menyelesaikan makannya.
"Emak sehat, meskipun harus nahan kangen mampus ke anaknya, aku sama Mama sering berkunjung. Mama punya hobi masak sekarang, dia happy katanya, jadi bisa eksplore banyak menu baru yang belum pernah dia coba. Pos ronda juga nggak pernah sepi orang buat jaga malam. Kalau Kapti kayaknya lagi sibuk ngurusin toko cabangnya yang kemarin baru buka."
Kombe diam, ia menyimak. "Pak Wi kemarin beli dua motor listrik. Mobil gratis yang pernah dia pamerin waktu itu nggak jadi turun, kata dia pajaknya gede, jadi mending beli motor listrik daripada bayar pajaknya. Aku rasa aku akan ngelakuin hal sama kalau dihadapkan dengan pilihan yang sama. Lebih lagi kalau ada uangnya."
Kombe tertawa. Kami tertawa. Aku hanya ingin memberitahunya bahwa dunia di luar penjara berjalan dengan biasa saja seperti yang ia lihat sebelum ke sini. Jadi dengan begitu ia akan mendengarkanku untuk mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ia sudah banyak melewati kejadian-kejadian berat selama ini, mentalnya terlatih melebihi siapapun yang seusia kami, jadi aku sangat percaya kalau ia bisa melewati masa sulitnya ini sekali lagi.
Pada bulan berikutnya ternyata Emak nekat ke rutan. Meruntuhkan rindunya laksana balas dendam. Setiap dari kami tentu telah memprediksi hal itu. Sebab rindu yang tidak tersampaikan hanya akan menjadi penyakit dalam yang sukar sembuh. Ah, hanya para pecinta yang bisa merasakannya! Namun, Kombe menolak kunjungannya. Ia tidak mau beranjak dari tempat tidak nyamannya menuju perasaan tidak nyaman yang lain.
Kombe berkali-kali bilang kalau ia tidak ingin memperlihatkan kondisinya yang berantakan di depan orang yang ingin ia lindungi. Katanya seperti kalah berperang. Katanya seperti pasukan yang gagal melindungi negerinya. Katanya seperti orang yang kehilangan segalanya. Katanya seperti tidak berkepemilikan, ia tidak memiliki apapun lagi dan tidak dimiliki siapapun di dunia ini. Aku susah mencerna katanya, tapi aku melihatnya sebagai manusia yang berada di ujung keputusasaan.
Padahal ia hanya perlu menemui Emak, memenuhi kerinduan dari orang yang tidak pernah menyerah padanya di saat satu dunia melakukan itu. Padahal ia hanya perlu menerima kasih sayang Emak dan menunjukkan sayangnya dengan penuh. Aku tidak habis pikir dengan apa yang ia pertahankan, namun Mama memintaku untuk memakluminya saja dan terus ada di sampingnya. Sama seperti Mama yang ada di samping Emak di masa sulitnya.
Kapti yang mengetahui hal itu pun sama bingungnya seperti aku. Melihat kondisi Emak yang tetap mengunjungi rumah tahanan di tengah kondisinya yang sakit membuat nalurinya terusik. "Kombe harus aku beri pelajaran setelah keluar penjara." Katanya dengan geram sambil melanjutkan makan.
 Beberapa hari lalu kami mendengar kabar bahwa Baskoro mencalonkan diri sebagai walikota. Berita ini disusul isu-isu panas tentang dirinya dari mulut ke mulut oleh para warga. Mulai dari pelecehan yang ia lakukan pada sekretaris perusahaan sampai tindak kriminalisasi yang ia lakukan pada Kombe jadi diskusi hangat di antara tawar-menawar harga sayur dan bumbu rempah. Berita itu mula dikabarkan oleh orang yang digadang-gadang tim sukses dari lawan politiknya, yang kemudian viral sampai diangkat di media nasional.