Tidak pernah terpikirkan olehku akan mengalami ujian hidup hingga ke titik serendah ini. Dua bulan terakhir keluargaku dibelit pelik, bisnis Ayah yang telah dirintis kurang lebih 11 tahun tanpa diduga mengalami masalah keuangan serius. Pada awalnya Ayah optimis bisnisnya masih bisa ditolong. Berpegang pada kepercayaannya, ia tak segan menggunakan seluruh tabungan, bahkan mengambil dana pinjaman untuk menambal masalah finansial perusahaannya.
Sayang, segala usaha yang dilakukan gagal, perusahaan malah semakin collapse dan meninggalkan banyak utang. Rumah, tanah, kendaraan dan segenap harta benda habis dijual untuk menutupi beban utang. Namun, hasil semua penjualan itu ternyata masih belum cukup, hingga pada akhirnya kami harus melarikan diri.
Akhir dari pelarian kami setelah beberapa kali berpindah tempat adalah rumah panggung kayu tua minimalis di tempat terpencil. Beruntung masih ada teman Ayah yang peduli. Om Tama, teman sesama pebisnis, mempersilakan kami menempati salah satu rumahnya yang dianggap paling aman dari kejaran orang-orang. Katanya rumah ini tempat pelariannya di kala suntuk dan lelah karena pekerjaan. Saking baiknya, kami diantarkan secara khusus olehnya dan Gala, anak sulungnya, yang kebetulan temanku masa SMA.
"Gue nggak yakin deh, lo bisa betah di sini. Andai keadaan keluarga lo nggak sekacau itu, Papa gue pasti pinjamin rumah yang lebih nyaman, gede dan bagus dari ini," kata Gala sambil memasang wajah iba. Tapi kata-katanya terkesan mengejek serta nadanya terdengar angkuh.
Aku bergeming sengaja menunggu langkah orangtuaku dan Om Tama menjauh. Di situasi seperti ini sebenarnya aku malu dan gengsi setengah mati dekat-dekat apalagi sampai harus berbicara padanya. Hatiku juga getir sebab harus menerima kenyataan kabarnya Gala berhasil diterima kuliah di universitas negeri unggulan. Sedangkan aku? Boro-boro melanjutkan kuliah, hidup saja tidak jelas seperti ini. Menjadi buronan.
"Ini nggak terlalu buruk kok, semoga bisa betah."
Aku tidak sanggup menatap Gala. Dan memilih melempar pandang ke mobil Jeep Wrangler Rubicon miliknya ini yang keadaannya belepotan tanah. Sungguh perjalanan ke sini tidak mudah dan memakan waktu hingga empat jam dari kota. Sekarang aku benar-benar terasing bak hidup di peradaban purba tanpa listrik dan sinyal yang entah sampai kapan.
Gala berdeham. "O iya, sebetulnya gue baru tahu kalau Papa punya rumah di tempat seterpencil ini." Mata dan kepalanya tak bisa diam, celingukan melihat sekitar yang sepenuhnya hijau oleh pepohonan.
"Jadi ini pertama kalinya lo ke sini?" tanyaku agak kaget.
Gala mengangguk, "Ya begitulah, toh biasanya gue dibawa ke tempat-tempat yang jauh lebih bagus dari ini."
Aku membuang napas kasar, jengah mendengar kesombongannya. Padahal ayahnya baik, rendah hati, tapi kenapa anaknya sangat menyebalkan? Sifatnya itulah yang membuatku kurang srek padanya. Di sekolah aku selalu berusaha menghindar, tapi malah selalu ada saja momen yang membuatku harus berhadapan dengannya. Sialnya, di saat hidup lagi susah begini aku harus bertemu dan berhutang budi.
Segala yang bergejolak dalam batinku membuat pipi terasa panas. Aku tidak mau kalau sampai ia menyadari pipiku seperti kepiting rebus. Jadi di saat ia masih celingukan cepat-cepat saja kutinggalkan, kebetulan Om Tama berseru dari dalam menyuruh kami segera masuk.
"Witra, Sena, Agni, anggaplah ini rumah sendiri. Mohon dimaklumi dan semoga kalian bisa merasa nyaman walaupun kondisinya seperti ini. Nggak perlu takut, saya sudah sering ke sini dan selalu aman-aman saja. Saya pastikan hanya kami yang tahu keberadaan kalian."
Itu satu dari beberapa patah kata dari Om Tama yang aku dengar secara langsung. Meskipun ia dan Gala tidak berlama-lama, sisa waktuku malah banyak dihabiskan bersama Gala yang kerap mengajakku mengobrol hal-hal tidak penting di sudut lain rumah.
"Kalau memang sampai nggak betah, awas aja ya kalau kabur, lo bisa dimangsa macan atau diculik wewe gombel!" Ia bertingkah seperti binatang buas yang hendak mencakar sambil memperlihatkan taring tajamnya.
Kelakuannya mengingatkanku pada sinetron Manusia Harimau di zaman dulu. Aku mundur kegelian. "Apaan sih lo, kok ngomong sembarangan gitu? Lebay banget. Siapa juga yang mau kabur," semburku kesal. "Noh, Ayah lo ngajak pulang!"
"Oke oke, gue janji bakal balik lagi ke sini bareng Papa, nengok lo buat mastiin kalau lo nggak cuma tersisa tulang belulang," decitnya diiringi seringai.
"Brengsek!" hardikku.
Aku nyaris menggeplak bahu kekarnya, kalau saja ia tak lebih dulu meraih tanganku. Sejenak pergelangan tanganku digenggamnya, ia menatapku intens, sorot matanya sulit diartikan seperti ada yang hendak disampaikan. Buru-buru kutarik tanganku, ia hanya terkekeh lalu melengos pergi. Malas sekali aku harus mengantarkannya sampai halaman, seperti yang dilakukan Ayah dan Mama yang lebih dulu ada di depan bersama Om Tama.
***
"Ayah kenapa bagian bawah pohon beringin itu dipagari kain hitam?"
Aku baru menyadari hal tersebut karena sejak si pemilik rumah pulang, kami beristirahat cukup lama di ruang tengah. Ayah yang sibuk menata makanan kaleng instan di meja langsung beringsut menghampiriku. Ia ikut memperhatikan pemandangan ganjil itu dari jendela dapur yang sepertinya sengaja dikunci permanen agar tidak sembarangan dibuka.
"Oh itu, Ayah hampir lupa kasih tahu. Waktu kamu ngobrol di dekat jendela depan sama Gala, Tama berpesan melarang keras kita mendekati area yang ditutupi kain hitam itu apalagi memasukinya."
"Lho, menangnya kenapa?"
"Katanya sih kain hitam itu fungsinya sebagai pengaman agar mahkluk-mahkluk lain yang bersarang di pohon beringin tidak sampai menganggu orang rumah. Benar atau tidaknya, kita turuti saja, kita di sini cuma numpang nggak boleh macam-macam."
Aku mengangguk tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari pohon beringin besar yang jauhnya hanya beberapa meter dari halaman belakang. Ayah kembali ke pekerjaannya, beberapa saat kemudian terdengar suara Mama. Ia datang-datang mengomel, siapa yang membuatnya kesal di tempat sepi begini?
"Kenapa sih, Ma?" Aku membalikkan badan beralih menatap Mama yang wajahnya mendongkol.
"Itu lho, waktu mau nutup pintu, Mama lihat ada Kakek tua pakai caping bajunya kotor banget lusuh. Dia berdiri di ujung halaman depan sambil lihatin terus, Mama samperin lah buat nyapa. Tapi dia malah nyuruh kita balik. Kalian harus pergi dari sini! Cepat Pergi! Begitu katanya. Siapa dia coba? Aneh banget!"
Aku dan Ayah saling beradu tatap sejenak kami tertegun, hening yang merebak seolah membangkitkan kewaspadaan. Namun, kemudian Ayah menenangkan Mama. Ia mengatakan mungkin saja Kakek itu hanya orang iseng atau sudah pikun.
"Tapi aku penasaran di mana Kakek itu tinggal? Sejak kita memasuki area hutan bukankah kita nggak menemukan satu pun rumah lain?" Mendadak aku merasa cemas.
"Kemungkinan dia tinggal di saung dekat sini. Tapi sudahlah jangan dipikirkan. Hari sudah mau gelap mending kalian segera tutup jendela dan Ayah nyalain lampu minyaknya."
Aku langsung berbalik niat hati menutup jendela yang paling dekat denganku, sementara itu Mama pergi ke ruangan lain dan Ayah tetap di dapur menyiapkan beberapa lampu minyak. Aku sedikit tercengang ketika melihat kabut pekat mengaburkan pandangan sampai-sampai pepohonan seolah lenyap menghilang.
Suasana yang tidak pernah kusaksikan sebelumnya ini membuatku merasa takut dan was-was. Apa yang kulihat dan rasakan begitu asing hingga terasa janggal. Di mana sebenarnya aku sekarang? Batinku memelas, meratapi nasib yang sampai harus kabur dari satu tempat ke tempat lain dan berakhir di sebuah rumah di antah berantah.
Aku yang melankolis mudah saja terjebak ke dalam lamunan, akan tetapi sekonyong-konyong aku dikagetkan oleh sesuatu yang dengan sangat keras menabrak kaca di depan batang hidungku. Saking kerasnya, kaca memantulkan suara bedebum nyaring, spontan aku menjerit dan terhenyak ke belakang.
"Agni?!" pekik Ayah.
Ia cepat menghampiriku rautnya penuh kekhawatiran. Selang beberapa detik Mama muncul, langkahnya tergopoh-gopoh. Ia juga langsung menanyakan keadaanku dan suara apa yang barusan terdengar. Aku hanya bisa menggeleng panik, tapi aku melihat yang menabrak jendela itu telah jatuh. Ayah mengeceknya via kaca lalu Mama mengikutinya, sementara aku tetap di belakang sambil gemetaran.
Beberapa saat kemudian, bahu Ayah menurun seperti mendapat kelegaan dan ia buru-buru menutup jendelanya rapat-rapat.
"Apa tadi itu, Yah?" tanyaku masih dalam keadaan panik.
"Cuma burung. Burung hitam, sepertinya langsung mati," jawabnya lebih kalem.
"Mama kok khawatir ya kalau itu sebuah pertanda buruk," celetuk Mama.
Aku menoleh ke Mama melempar tatapan tak mengerti, tapi Ayah langsung menyambar.
"Apaan sih, Ma?! Palingan itu burung lihat pantulan cahaya dari lampu minyak yang Ayah nyalakan. Nggak ada deh hal-hal seperti itu. Ayo mendingan kita makan, Ayah lapar."
Kami makan dalam kebungkaman, setiap kunyahan rasanya begitu lambat dan kaku. Matinya interaksi di antara kami membuat suasana terasa canggung. Kuyakin Ayah dan Mama sama sepertiku terjerembab oleh kemelut yang semakin mengusut di dalam benak. Gelap dan sunyi yang mengelilingi rasa-rasanya semakin memperparah suasana hati.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H