Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pelarian-Pelarian [Part 1]

4 Januari 2025   12:15 Diperbarui: 4 Januari 2025   12:15 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah di tengah hutan yang berkabut (pexels.com/@fidan-nazim-qizi)

Aku membuang napas kasar, jengah mendengar kesombongannya. Padahal ayahnya baik, rendah hati, tapi kenapa anaknya sangat menyebalkan? Sifatnya itulah yang membuatku kurang srek padanya. Di sekolah aku selalu berusaha menghindar, tapi malah selalu ada saja momen yang membuatku harus berhadapan dengannya. Sialnya, di saat hidup lagi susah begini aku harus bertemu dan berhutang budi.

Segala yang bergejolak dalam batinku membuat pipi terasa panas. Aku tidak mau kalau sampai ia menyadari pipiku seperti kepiting rebus. Jadi di saat ia masih celingukan cepat-cepat saja kutinggalkan, kebetulan Om Tama berseru dari dalam menyuruh kami segera masuk.

"Witra, Sena, Agni, anggaplah ini rumah sendiri. Mohon dimaklumi dan semoga kalian bisa merasa nyaman walaupun kondisinya seperti ini. Nggak perlu takut, saya sudah sering ke sini dan selalu aman-aman saja. Saya pastikan hanya kami yang tahu keberadaan kalian."

Itu satu dari beberapa patah kata dari Om Tama yang aku dengar secara langsung. Meskipun ia dan Gala tidak berlama-lama, sisa waktuku malah banyak dihabiskan bersama Gala yang kerap mengajakku mengobrol hal-hal tidak penting di sudut lain rumah. 

"Kalau memang sampai nggak betah, awas aja ya kalau kabur, lo bisa dimangsa macan atau diculik wewe gombel!" Ia bertingkah seperti binatang buas yang hendak mencakar sambil memperlihatkan taring tajamnya. 

Kelakuannya mengingatkanku pada sinetron Manusia Harimau di zaman dulu. Aku mundur kegelian. "Apaan sih lo, kok ngomong sembarangan gitu? Lebay banget. Siapa juga yang mau kabur," semburku kesal. "Noh, Ayah lo ngajak pulang!"

"Oke oke, gue janji bakal balik lagi ke sini bareng Papa, nengok lo buat mastiin kalau lo nggak cuma tersisa tulang belulang," decitnya diiringi seringai.

"Brengsek!" hardikku.

Aku nyaris menggeplak bahu kekarnya, kalau saja ia tak lebih dulu meraih tanganku. Sejenak pergelangan tanganku digenggamnya, ia menatapku intens, sorot matanya sulit diartikan seperti ada yang hendak disampaikan. Buru-buru kutarik tanganku, ia hanya terkekeh lalu melengos pergi. Malas sekali aku harus mengantarkannya sampai halaman, seperti yang dilakukan Ayah dan Mama yang lebih dulu ada di depan bersama Om Tama. 

***

"Ayah kenapa bagian bawah pohon beringin itu dipagari kain hitam?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun