Suasana yang tidak pernah kusaksikan sebelumnya ini membuatku merasa takut dan was-was. Apa yang kulihat dan rasakan begitu asing hingga terasa janggal. Di mana sebenarnya aku sekarang? Batinku memelas, meratapi nasib yang sampai harus kabur dari satu tempat ke tempat lain dan berakhir di sebuah rumah di antah berantah.
Aku yang melankolis mudah saja terjebak ke dalam lamunan, akan tetapi sekonyong-konyong aku dikagetkan oleh sesuatu yang dengan sangat keras menabrak kaca di depan batang hidungku. Saking kerasnya, kaca memantulkan suara bedebum nyaring, spontan aku menjerit dan terhenyak ke belakang.
"Agni?!" pekik Ayah.
Ia cepat menghampiriku rautnya penuh kekhawatiran. Selang beberapa detik Mama muncul, langkahnya tergopoh-gopoh. Ia juga langsung menanyakan keadaanku dan suara apa yang barusan terdengar. Aku hanya bisa menggeleng panik, tapi aku melihat yang menabrak jendela itu telah jatuh. Ayah mengeceknya via kaca lalu Mama mengikutinya, sementara aku tetap di belakang sambil gemetaran.
Beberapa saat kemudian, bahu Ayah menurun seperti mendapat kelegaan dan ia buru-buru menutup jendelanya rapat-rapat.
"Apa tadi itu, Yah?" tanyaku masih dalam keadaan panik.
"Cuma burung. Burung hitam, sepertinya langsung mati," jawabnya lebih kalem.
"Mama kok khawatir ya kalau itu sebuah pertanda buruk," celetuk Mama.
Aku menoleh ke Mama melempar tatapan tak mengerti, tapi Ayah langsung menyambar.
"Apaan sih, Ma?! Palingan itu burung lihat pantulan cahaya dari lampu minyak yang Ayah nyalakan. Nggak ada deh hal-hal seperti itu. Ayo mendingan kita makan, Ayah lapar."
Kami makan dalam kebungkaman, setiap kunyahan rasanya begitu lambat dan kaku. Matinya interaksi di antara kami membuat suasana terasa canggung. Kuyakin Ayah dan Mama sama sepertiku terjerembab oleh kemelut yang semakin mengusut di dalam benak. Gelap dan sunyi yang mengelilingi rasa-rasanya semakin memperparah suasana hati.
Bersambung...