Jangankan buah tangan, untuk sampai ke desanya saja, ia tak bisa. Jangankan uang pesangon, gaji bulanan terkahirnya saja harus ia minta sambil memohon-mohon.
Namun pada kacamata lain, Ngatmi dipandang sebagai pahlawan, yang kedatangannya seolah menyelamatkan peliknya keadaan. Maka, mudik ngatmi kali ini tak perlu lagi menunggu lebaran.
Dalam kekalutannya Ngatmi menceritakan, dulunya, 10 tahun ia merantau, tak pernah sekalipun ia melewatkan mudik lebaran.
Tas jinjing yang ia bawa biasanya penuh pakaian baru dan makanan ringan, oleh-oleh untuk ayah dan ibu yang sudah tak sabar menunggu di depan pintu.
Para tetangga juga sibuk berkunjung untuk sekadar menengok sejauh mana ia mencari uang dan ilmu.
Mirisnya, tak satupun yang bertanya, bahagia kah Ngatmi di ibu kota? berapa waktu yang ia habiskan untuk mencari sesuap nasi untuk keluarga? Rindu kah ia pada suara ayam berkokok yang membangunkannya pagi-pagi buta? Siapa yang mendekapnya dalam setiap lara yang ia terima?
Ngatmi sendiri menuturkan, harusnya ia tak begitu terkejut dengan fenomena itu. Biasa, katanya.
Lalu hari ini, ia harus menerima kenyataan, pulang tanpa sambutan, tanpa harapan.
Mudik dalam bayangan Ngatmi selalu jadi persimpangan jalan, tentang kompensasi kebahagiaan, atau angan tanpa ingin yang hanya jadi angin.
Selesai mendengar keluh kesah Ngatmi, tanpa memberi dia solusi, saya beranjak ke Warung Soto di ujung terminal. Asapnya mengepul membawa aroma rempah yang dipadu kaldu ayam.
Saya memesan dua es teh dan satu soto mengingat hawa siang itu luar biasa panasnya. Denting suara mengaduk gelas ditutup dengan deru mobil yang berhenti.