Kendaraan ber plat AB itu berhenti, 2 penumpangnya yang berdandan perlente turun tanpa membawa satu pun barang.
"Soto dua es teh dua," sebutnya sembari mencopot kacamata hitam.
Laki-laki itu mengenakan jaket kulit hitam, topi bermerek ternama dengan logo kuda, dialeknya seperti orang kota, ia selalu menggunakan Bahasa Indonesia.
Panggil saja Darmin (40) dan Darsih (38), sepasang suami istri yang nampaknya datang dari jauh dan baru selesai menempuh perjalanan panjang.
Darsih menoleh, "dari mana mbak?", tanyanya.
"dari Magelang bu", kata saya sambil menerima semangkuk soto panas. Sepersekian detik asap soto tersebut menjeda percakapan kami. Dia, hanya mengangguk.
Setelahnya, saya masih sibuk mengaduk-aduk kuah, menyeruputnya sedikit demi sedikit sembari mencuri dengar percakapan keduanya.
Berbeda dengan Ngatmi, keduanya tampak lebih menggebu, dompet disaku tak hanya berisi dua ribu, namun deretan gambar Soekarno warna merah dan lembaran biru.
Darsih, perempuan paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai penjual bakso di Jakarta itu bersemangat menyebut nama-nama saudara yang hendak ia kunjungi.
Sedangkan Darman (yang sepertinya adalah suami Darsih), hanya banyak meng iya kan dan sedikit tertawa renyah. Mereka terlihat tak menggendong beban perkara, sepertinya.
"Mudik bu?", tanya saya. Darsih menoleh, "Iya mbak, sudah 10 tahun nggak pulang, kangen," katanya.