Lagi-lagi pembicaraan kami terjeda, kali ini karena seorang anak kecil mengamen dan menyodorkan tangannya.
Darsih terlihat tergugu, ia kemudian mengeluarkan uang 50 ribu dari dompetnya yang berwarna biru, matanya berkaca-kaca, rona wajahnya tetiba pilu.
Belum sempat menyambung tanya, Darsih kembali menoleh, ia menceritakan, pengamen tadi mirip anaknya yang meninggal 10 tahun yang lalu.
Anak Darsih yang bernama Darno meninggal akibat penyakit kelainan ginjal dan usus besar. Nyawanya tak tertolong lantaran waktu itu ia tak memiliki biaya untuk berobat.
Tak usah bicara soal asuransi atau kartu bantuan negara berwarna hijau, Darsih yang tidak bisa baca tulis tak tau bagaimana cara mengurusnya, waktu itu.
Kepergian Darno menyisakan luka mendalam bagi keduanya, lingkaran kemiskinan ia tuduh sebagai penyebab beratnya beban keluarga.
Lagi-lagi bagai berada di persimpangan jalan, antara tuntutan keadaan dan sebuah cara untuk bangkit dan melupakan.
Darsih dan Darman waktu itu akhirnya memutuskan untuk merantau ke kota metropolitan, demi sebuah usaha memperbaiki ekonomi dan memutus rantai kesengsaraan.
Mulai dari bakso gerobak dorong yang ia jajakan di depan kompleks perkantoran Sarinah hingga kini memiliki 3 kios bercat merah.
Sesekali, saat sepi, Darsih terkadang teringat Darno, putra satu-satunya yang telah tiada. Hal itu jugalah yang membuatnya merasa berat kembali ke tanah kelahirannya.
Bayang-bayang tetangga yang menghakimi membuat Darsih seolah-olah menjadi ibu gagal, terlintas seperti potongan film yang tidak bisa dijeda tiap adegannya.