Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pandan Wangi Kenangan Perjuangan

10 November 2020   12:03 Diperbarui: 11 November 2020   00:39 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada serumpun pandan wangi yang tumbuh di pojok belakang rumah.  Dulu, pandan wangi itu tumbuh di dekat sumur yang menjadi tempat mandi keluarga besar kami.  Waktu aku kecil, sumur itu masih sederhana dan di dekatnya dibangun tempat mandi tanpa atap.  Kami harus menimba air  dulu sebelum mandi, hingga sepuluh tahun lalu, perigi itu akhirnya ditutup. Kamar mandi diperbaiki menjadi permanen dengan atap yang melindungi kami dari hujan.

Kami tidak perlu repot-repot  menimba air karena ada mesin pompa air yang menyedot air perigi itu.

Tapi pandan wangi tetap bertahan hingga kini.  Tanaman wangi untuk mengharumkan makanan atau minuman itu tetap memanjakan mata kami dengan daunnya yang hijau menjulur panjang serta wangi yang kami cium.  Ada batang induk yang sepertinya sudah berusia cukup lama karena nampak besar dan berwarna gelap.  Dari batang itu, tumbuh tunas-tunas baru yang menyebar ke sekelilingnya.  Dulu, tanah tempat ia tumbuh relatif becek dan lembab karena selalu tergenang air dari air yang berasal dari kamar mandi.

Kata Nenek, usia pandan wangi itu nyaris sama dengan usia beliau.  Padahal usia nenek sudah tujuh puluh tahun lebih.  Berarti sepanjang waktu itu pula pandan wangi itu tumbuh di situ.

Sebenarnya, anak-anak nenek berkeinginan untuk membabat rumpun pandan wangi itu.  Tumbuhan itu dianggap membawa suasana wingit di sekitarnya. Tapi tak satu pun yang berani melawan penolakan nenek. Termasuk Ibu, satu-satunya anak perempuan nenek sekaligus bungsunya yang hingga kini tinggal bersama nenek, sementara kakak-kakak ibu tinggal di kanan dan kiri rumah induk.

Persoalan muncul ketika terjadi pembagian warisan kakek berupa tanah, termasuk tanah tempat pandan wangi itu tumbuh.  Sesuai wasiat kakek yang diteruskan oleh nenek. Pandan wangi itu tumbuh di tanah yang menjadi bagian warisan Pakde Broto, yang tepat berbatasan dengan bagian Ibu yang kebagian sumurnya.  Saat ini, kami yang berada di rumah induk menggunakan sumur yang sudah ditutup dan menggunakan mesin pompa itu.

Masalahnya, Pakde Broto bermaksud untuk membuat bangunan di lokasi tumbuhnya pandan wangi.  Imbasnya, pandan wangi harus dibabat.  Mendengar itu, nenek meradang marah.  Namun karena tanah itu sudah menjadi hak Pakde Broto, nenek hanya bisa mengeluh pada ibu, anak yang kini diikutinya.  Apalagi nenek sudah sakit-sakitan karena sepuh dan lebih banyak berbaring di tempat tidur.

"Kau harus mencegahnya, Sih." Kata nenek kepada Ibu."Kau tahu pandanwangi itu sangat berarti bagiku.  Aku tidak rela, jika tanaman itu dibabat.  Aku kehilangan kenangannya."

Ningsih, ibuku hanya diam.  Saat itu beliau sedang menyuapi nenek untuk sarapannya.  Kebetulan  aku yang sedang mengambil cuti kerja,  ikut menemani ibu menyuapi nenek.

Aku tidak tahu kenapa nenek begitu gigih menolak pembabatan pandan wangi itu.  Bahkan sejak dulu, saat pakde masih tinggal bersama nenek.  Hanya saja, waktu itu kewenangan masih di tangan nenek.  Kucoba kutanyakan kepada Ibu.

Dulu ibu tidak mau menjawabnya hanya diam lalu berkata, "Suatu saat nanti Ibu akan cerita." Begitu terus setiap aku tanya.

Kini aku sudah beranjak dewasa, sudah mandiri dan bekerja di luar kota.  Saat pulang cuti ini, kutanya lagi kepada ibu.  Kali ini dengan mendesaknya.  Apalagi sepertinya Pakde Broto tidak mau menunda lagi karena tanahnya akan digunakan untuk membangun bagian belakang rumahnya.

"Ceritakan, Bu.  Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan masalahnya, jika aku tahu alasan kuat mempertahankan tanaman itu."Kataku membujuknya.

Ibu memandang mataku dengan lembut.  Tangannya yang cekatan membereskan alat makan yang tadi digunakan untuk sarapan nenek.  Nenek sudah tertidur setelah tadi mengeluarkan uneg-unegnya agar pandan wangi itu tidak dibabat. 

Dengan kode  matanya, beliau meminta aku mengikuti ibu ke dapur.  Aku mengiyakan dalam diam.

Setelah menaruh alat makan di wastafel, Ibu mengajakku duduk di meja dapur.  Aku duduk untuk mendengar cerita ibu.

"Pandanwangi itu penuh sejarah, Nik."Kata ibu memulai cerita.  Aku mendengarkan dengan takzim.

Ibu melanjutkan.

Pandan wangi itu seusia nenek, ditanam oleh kakek buyut saat nenek baru berusia beberapa hari.  Kakek merupakan anggota laskar pejuang rakyat yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan saat perang revolusi mempertahankan kemerdekaan.  Saat nenek lahir, terjadi penyerangan tentara Belanda ke daerah kantong-kantong pejuang, termasuk wilayah kakek buyut. 

Meskipun nenek buyut baru melahirkan nenek, tapi kakek buyut tetap berniat berangkat menyusul laskar pejuang ke medan laga.  Sebagai pejuang wanita, nenek buyut sama sekali tidak menghalangi kepergian kakek buyut.  Dalam keadaan lemah karena baru melahirkan, beliau segera menyiapkan semua kebutuhan suaminya berjuang.

Sebelum berangkat, kakek buyut ke belakang rumah. Beliau menuju dekat sungai dan memotong batang pandan wangi yang sudah tua, lalu menanamnya di belakang rumah dekat sumur.

"Buat apa, mas?" tanya nenek buyut.  Saat itu nenek buyut menggendong nenek yang masih bayi merah.  Kakek buyut diam lalu mencium nenek.  Air matanya menetes.

"Dik, aku titip Menuk ya.  Tolong jaga dan rawat dia dengan baik.  Ceritakan tentang aku jika dia sudah besar nanti.  Tunjukkan pandan wangi ini padanya, katakan kalau pandan wangi ini ditanam ayahnya sebagai kenangan untuk kalian."

"Jangan bicara begitu, Mas. Mas akan kembali, kan?" kata nenek ibuyut di sela isak lirihnya.

"Semoga, dek. Tapi jika pun aku tak kembali, aku bahagia gugur di medan laga mempertahankan negeri ini. Karena itu, jika Dik Asih kangen sama mas, lihat pandan wangi ini. Jika pandan wangi ini tumbuh subur, itu tanda aku bahagia meskipun kita tak berjumpa." Kata kakek buyut sambil mengusap air matanya yang tak bisa ditahan mengaliri pipinya.

"Jaga pandan wangi ini ya dik, seperti kau menjaga Menuk." Nenek buyut mengangguk lagi sambil terus terisak.  Kakek buyut memeluk istrinya, lalu mencium nenek berkali-kali.

Pagi itu kakek buyut berangkat, dan merupakan pertemuan terakhir dengan keluarganya.  Kakek buyut meninggal terkena meriam yang dilempar tentara Belanda.  Nenek buyut menjadi janda di usia muda dan bertahan hingga beliau meninggal dunia.

Jika nenek kangen kakek buyut, nenek buyut mengajak nenek untuk melihat pandan wangi di pojok belakang rumah sambal menyiangi tanahnya agar pandan wangi makin subur.  Nyatanya tanaman itu bertahan terus, beranak pinak, bertunas terus bertahan hidup hingga bisa dilihat anak cucunya termasuk aku.

                                                                                                                                         ***

Sore ini, aku duduk menikmati teh manis dan kue kecil di ruang belakang yang diubah menjadi taman kecil.  Dari laptop kudengar sebuah lagu lama yang diciptakan oleh maestro keroncong Indonesia, Gesang dan dinyanyikan oleh beliau Bersama Waljinah. 

PANDAN WANGI

Menghijau daunmu nan mewangi
Pandanku di atas perigi
Engkau kutanam mengandung arti
Bisikan jiwa isi hati

Bila kutinggal subur hudupmu
Betapa riang buah hatiku
Bila kutinggal kau jadi layu
Pilu nian buah hatiku

Dentuman meriam peluru mendesing
Sambil kunantikan takdir
Apa kemudian yang akan berakhir
Air mataku mengalir

Pesanku kepada buah hati
Piaralah ini pandan wangi
Menjadi peringatanmu nanti
Bila ku pergi tak Kembali

Sambil mendengarkan lagu itu, kuarahkan pada sekumpulan rumpun pandanwangi di pojok taman itu.  Rumpun itu tumbuh subur dan menghijau.  Di dekatnya ada kolam buatan dengan air yang mengalir bergemericik, menggantikan sumur yang sudah ditutup di dekatnya.

Tanaman itu akhirnya tetap dipertahankan, bahkan kini diubah menjadi taman kecil yang indah.  Setelah mendengar cerita Ibu tentang pandan wangi itu, aku mengajukan usul kepada Ibu untuk membujuk Pakde Broto agar bersedia menjual tanah tempat pandan wangi tumbuh.  Aku bersedia membayar dengan harga tinggi sesuai dengan permintaan Pakde Broto lalu kuminta  tukang untuk membuat taman di lokasi itu.

Aku tersenyum bahagia. Aku yakin nenek juga tersenyum bahagia di alam sana, seperti senyumnya dulu beberapa waktu sebelum beliau meninggal dunia.  Pandanwangi kenangan perjuangan dari kakek buyut masih bertahan hingga kini.  Dari pandan wangi itu aku mengenang perjuangan kakek buyutku dan pengorbanan nenek buyut dan nenek yang ditinggal gugur kakek buyut. 

Nanti, jika aku bertemu jodohku, akan kuceritakan kisah pandanwangi ini kepadanya, agar dia mendukungku merawatnya sampai akhir hidup kami.  Sampai keturunan kami.

Tangerang Selatan, 10 November 2020

Catatan: 

- Cerita diilhami oleh lagu Pandan Wangi yang merupakan lagu bergenre keroncong  ciptaan Gesang dan dipopulerkan oleh Gesang dan Waljinah 

- Tautan lagu silahkan:  di sini 

- Sumber asli  lirik lagu pandanwangi dapat dilihat di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun