Dulu ibu tidak mau menjawabnya hanya diam lalu berkata, "Suatu saat nanti Ibu akan cerita." Begitu terus setiap aku tanya.
Kini aku sudah beranjak dewasa, sudah mandiri dan bekerja di luar kota. Â Saat pulang cuti ini, kutanya lagi kepada ibu. Â Kali ini dengan mendesaknya. Â Apalagi sepertinya Pakde Broto tidak mau menunda lagi karena tanahnya akan digunakan untuk membangun bagian belakang rumahnya.
"Ceritakan, Bu. Â Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan masalahnya, jika aku tahu alasan kuat mempertahankan tanaman itu."Kataku membujuknya.
Ibu memandang mataku dengan lembut. Â Tangannya yang cekatan membereskan alat makan yang tadi digunakan untuk sarapan nenek. Â Nenek sudah tertidur setelah tadi mengeluarkan uneg-unegnya agar pandan wangi itu tidak dibabat.Â
Dengan kode  matanya, beliau meminta aku mengikuti ibu ke dapur.  Aku mengiyakan dalam diam.
Setelah menaruh alat makan di wastafel, Ibu mengajakku duduk di meja dapur. Â Aku duduk untuk mendengar cerita ibu.
"Pandanwangi itu penuh sejarah, Nik."Kata ibu memulai cerita. Â Aku mendengarkan dengan takzim.
Ibu melanjutkan.
Pandan wangi itu seusia nenek, ditanam oleh kakek buyut saat nenek baru berusia beberapa hari. Â Kakek merupakan anggota laskar pejuang rakyat yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan saat perang revolusi mempertahankan kemerdekaan. Â Saat nenek lahir, terjadi penyerangan tentara Belanda ke daerah kantong-kantong pejuang, termasuk wilayah kakek buyut.Â
Meskipun nenek buyut baru melahirkan nenek, tapi kakek buyut tetap berniat berangkat menyusul laskar pejuang ke medan laga. Â Sebagai pejuang wanita, nenek buyut sama sekali tidak menghalangi kepergian kakek buyut. Â Dalam keadaan lemah karena baru melahirkan, beliau segera menyiapkan semua kebutuhan suaminya berjuang.
Sebelum berangkat, kakek buyut ke belakang rumah. Beliau menuju dekat sungai dan memotong batang pandan wangi yang sudah tua, lalu menanamnya di belakang rumah dekat sumur.