"Buat apa, mas?" tanya nenek buyut. Â Saat itu nenek buyut menggendong nenek yang masih bayi merah. Â Kakek buyut diam lalu mencium nenek. Â Air matanya menetes.
"Dik, aku titip Menuk ya. Â Tolong jaga dan rawat dia dengan baik. Â Ceritakan tentang aku jika dia sudah besar nanti. Â Tunjukkan pandan wangi ini padanya, katakan kalau pandan wangi ini ditanam ayahnya sebagai kenangan untuk kalian."
"Jangan bicara begitu, Mas. Mas akan kembali, kan?" kata nenek ibuyut di sela isak lirihnya.
"Semoga, dek. Tapi jika pun aku tak kembali, aku bahagia gugur di medan laga mempertahankan negeri ini. Karena itu, jika Dik Asih kangen sama mas, lihat pandan wangi ini. Jika pandan wangi ini tumbuh subur, itu tanda aku bahagia meskipun kita tak berjumpa." Kata kakek buyut sambil mengusap air matanya yang tak bisa ditahan mengaliri pipinya.
"Jaga pandan wangi ini ya dik, seperti kau menjaga Menuk." Nenek buyut mengangguk lagi sambil terus terisak. Â Kakek buyut memeluk istrinya, lalu mencium nenek berkali-kali.
Pagi itu kakek buyut berangkat, dan merupakan pertemuan terakhir dengan keluarganya. Â Kakek buyut meninggal terkena meriam yang dilempar tentara Belanda. Â Nenek buyut menjadi janda di usia muda dan bertahan hingga beliau meninggal dunia.
Jika nenek kangen kakek buyut, nenek buyut mengajak nenek untuk melihat pandan wangi di pojok belakang rumah sambal menyiangi tanahnya agar pandan wangi makin subur. Â Nyatanya tanaman itu bertahan terus, beranak pinak, bertunas terus bertahan hidup hingga bisa dilihat anak cucunya termasuk aku.
                                                                     ***
Sore ini, aku duduk menikmati teh manis dan kue kecil di ruang belakang yang diubah menjadi taman kecil. Â Dari laptop kudengar sebuah lagu lama yang diciptakan oleh maestro keroncong Indonesia, Gesang dan dinyanyikan oleh beliau Bersama Waljinah.Â
PANDAN WANGI
Menghijau daunmu nan mewangi
Pandanku di atas perigi
Engkau kutanam mengandung arti
Bisikan jiwa isi hati