Walaupu begitu, beroperasinya Billiton masih memakai skema kerjasama dengan Negara; Pemerintah Belanda memiliki 3 orang wakil dari 5 orang anggota komisaris di perusahaan, dan 5/8 keuntungan bersihnya dibayarkan kepada pemerintah.
Pada tahun 1868, Geolog Belanda bernama Willem Hendrik de Greeve menemukan kandungan batubara di Ombilin. Laporan ke Batavia mengenai penemuan ini disusun pada 1871 dengan judul “Het Ombilin kolenveld in de padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra Weskust”.
Pada 1872, W. H de Greeve melakukan eksplorasi lanjutan di Sumatera Barat, namun nasib sial. Penemu batubara di Ombilin ini tewas setelah mengalami kecelakaan di sungai Indragiri saat melakukan penelitian.
Selanjutnya, dua Insinyur tambang asal Belanda, Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth, ikut serta dalam proyek pertambangan di Ombilin, sejak 1874. Veth kemudian menulis laporan yang berjudul “The Expedition to Central Sumatra”.
Karena permasalahan birokrasi di pemerintah Belanda saat itu akhirnya Batubara di Ombilin, Sawahlunto baru di tambang pada tahun 1891 dan mulai produksi pada tahun 1892 setelah semua infrastuktur pendukung rel kereta api untuk jalur pengangkutan dan pelabuhan untuk jalur pengkapaan telah rampung dibangun.
Pada tahun 1895-1896, dimulai eksplorasi pertambangan di Bengkulu yang berada di onderafdeeling Lebong dan menemukan emas dalam endapan primer di lebong Donok. Selanjutnya, temuan tersebut mulai diambil alih oleh Mijnbouw Maatschappij Rejang Lebong yang berdiri pada tanggal 10 februari tahun 1897.
Semakin pentingnya produk-produk hasil pertambangan pada masa revolusi industri saat itu menjadikan sektor pertambangan adalah komoditas penting yang harus dilindungi dan di eksploitasi untuk kemajuan Belanda. Maka pada tahun 1899, pemerintah Belanda membuat Undang-Undang “Indische Mijnwet”, yaitu paket perundangan untuk pertambangan.
Menurut Undang-Undang ini pemilik tanah (penduduk setempat) tidak memiliki hak apapun atas sumberdaya mineral yang terdapat di dalam wilayah yang dimilikinya. Selam perjalanannya peraturan ini mengalami beberapa kali perubahan, tetapi perubahan yang dimaksut adalah semakin dibukanya keran investasi untuk sektor industri ekstraktif ini. Yang pada akhir 1938, Indische Mijnwet ini telah berhasil menggalang “massa investor” pertambangan di Hindia-Belanda.
Di Pulau Sumatera, emas sudah lama diusahakan oleh rakyat. Kegiatan penambangan emas modern ditandai dengan dibukanya tambang Lebong Donok, Bengkulu pada tahun 1899. Jenis cebakan yang dikerjakan adalah cebakan emas primer. Usaha itu disusul oleh pembukaan tambang-tambang lain seperti Simau (1910), Salida (1914), Lebong Simpang (1921) dan Tambang Sawah (1923).
Tambang Manggani di Sumatera Barat mulai berproduksi pada tahun 1913, tambang yang diusahakan oleh perusahaan Equator ini bertahan sampai tahun 1931, kemudian beralih kepemilikan dan dibuka kembali pada tahun 1939 oleh Marsman’s Algemeen Exploratie Maatschappij atau lebih dikenal MAEM. Tambang-tambang lain yang dibuka sesudah era 1930-an yaitu daerah Belimbing, Gunung Arum pada tahun 1935 dan dikelola oleh perusahaan Barisan, daerah Bulangsi dikelola oleh Sumatra Goldmijn Ltd dan Muara Sipongi pada 1936.
Selain menambang bijih emas primer, “MAEM” juga mengusahakan emas yang berasal dari endapan aluvial (sekunder) di Meulaboh Aceh yang dibuka pada tahun 1941 dan berlangsung hingga pecahnya Perang Dunia II. Tambang emas aluvial lain terdapat di Logas Riau dan diusahakan oleh perusahaan Bengkalis.